Senin, 13 Desember 2010

Muhammadiyah sebagai Gerakan Sosial-Keagamaan

PROLOG
            Aristoteles, seorang filosof besar, pernah menyatakan bahwa manusia adalah mahluk zoon politicon, yang berarti bahwa manusia adalah makhluk sosial. Pernyataan ini bermakna bahwa manusia dalam keberadaannya, tidak akan bisa meninggalkan salah satu sisi kehidupannya, yaitu adanya interaksi yang akan berjalan secara simultan atau secara terus-menerus. Dimana dalam konsep ini akan terjadi dan terjalin proses asimilasi dan akulturasi – dalam konsep sosiologi dikenal adanya identifikasi dan imitasi – secara kohesif, baik kebudayaan, sejarah maupun pemikiran. Konteks sosialisasi yang terjadi dalam kehidupan manusia akan selalu memberikan warna dan pengaruh yang bersifat timbal-balik (feed back). Proses ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya, karena dalam proseduralnya selalu akan melibatkan manusia, konsep itu sendiri, pemikiran serta lingkungan tempat tinggal.
            Sosialisasi yang dilakukan oleh individu-individu manusia, pada akhirnya akan membentuk satu kesepakatan secara kolektif – tentu saja dalam hal ini, akan tercipta satu tatanan yang disepakati bersama – yang pada akhirnya akan menghasilkan aturan, norma dan sistem, baik tertulis atapun bersifat verbal. Kesepakatan-kesepakatan yang dimiliki oleh manusia tersebut akan mencapai finalisasinya dalam sebuah kelembagaan. Dimana dalam kelembagaan tersebut segala tingkah laku manusia akan menjadi aspek perhatian dan pengamatan secara serius.
            Islam, sebagai sebuah ajaran – yang diklaim memiliki aturan yang komprehensif dan bersifat satu kesatuan yang integral – banyak memiliki konsep-konsep yang sangat fundamental dalam membentuk satu masyarakat yang bersifat dinamis. Dalam framework dan world view-nya, Islam telah memberikan satu gambaran yang jelas tentang bagaimana fungsi serta tujuan dari pranata Islam.
            Berbicara tentang pranata Islam, tentu akan berbicara tentang ‘pergumulan dan pertarungan’ konsep-konsep yang merupakan endapan dan proses pemikiran manusia yang telah terlembagakan atau tersistematisasikan dalam sebuah lembaga tertentu. Tentu saja dalam pembicaraan tentang sebuah pranata, tidak semua kebutuhan dan orang – termasuk anggota pranata tersebut – akan terakomodir, apalagi kebutuhan yang prinsipil. Berbicara pranata adalah berbicara tentang aspek-aspek komplementer (bersifat saling melengkapi). Artinya, sisi-sisi yang dibahas adalah aspek luar yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan atau hajat manusia yang bersifat sekunder.
            Dalam makalah ini, penulis akan mencoba untuk melakukan pemaparan tentang salah satu pranata keislaman, yang memiliki asset amal usaha terbesar di Indonesia juga sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan – Islam – terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama (NU), yaitu Muhammadiyah. Adapun ketertarikan penulis terhadap ormas ini adalah framework dan world view-nya yang berbeda dengan ormas keislaman lainnya, sistem keorganisasian yang modern, amal usaha yang banyak – sebagai suatu komitmen kongkrit dalam usaha membangun ekonomi umat disatu sisi, juga sebagai parameter keberhasilan dalam membangun masyarakat Islam yang dinamis dalam konteks sosial-keagamaan –, serta konsep tajdid yang menjadi salah satu ‘jargon’-nya dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran keislaman, baik yang berkaitan dengan usaha-usaha pengembangan interpretasi terhadap konsep ar-ruju’ ila Alquran wa Sunnah maupun usaha-usaha pengembangan konsep ar-ra’yu sebagai implikasi dari kesadaran kritis yang dimilikinya.





Pengertian Pranata Islam
            Secara definitif, pranata Islam terderivasi dari dua kata yaitu pranata dan Islam. Pranata dapat diartikan sebagai organ-organ kemasyarakatan yang memberi kerangka terlaksananya berbagai fungsi kemasyarakatan itu. Karena itu, dilihat dari proses pertumbuhannya, pranata berakar dalam kebiasaan orang banyak yang kemudian berkembang menjadi ukuran-ukuran, dan tumbuh matang berupa aturan-atiuran atau perilaku tertentu. Maka jika kebiasaan orang banyak bisa hanya berupa perilaku berulang-ulang tanpa dasar pikiran yang jelas, pranata justru memiliki ciri dasar pikiran yang jelas dan sadar, sehingga juga lebih permanen dibanding kebiasaan orang banyak saja. Semua ahli bersepakat bahwa pranata adalah cara perilaku yang mapan. Tetapi pranata juga dapat melibatkan aspek material, seperti gedung dan organisasi yang dikaitkan kepadanya.[1]
            Berdasarkan pengertian diatas, maka pranata keislaman ialah pranata yang dapat dipandang sebagai perwujudan atau cerminan nilai-nilai keislaman. Pranata keislaman dapat menyangkut aspek material seperti mesjid, madrasah, pesantren, Kantor Urusan Agama (KUA), Departemen Agama (Depag), dan sebagainya. Ia juga menyangkut segi-segi keorganisasian sepertu birokrasi Depag, kompleks hubungan kyai-santri, gerakan tarekat, majelis ta’lim atau kegiatan pengajian serupa yang lain, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, al-Irsyad, Persatuan Islam (Persis), Jama’ah Tabligh dan seterusnya.[2]
            Dari penjelasan diatas, dapat kiranya ditarik sebuah pemahaman bahwa pranata – apapun bentuknya – terbentuk dari sebuah hasil konsensus masyarakat sebagai suatu akumulasi yang membentuk satu sistem, aturan ,maupun norma. Dalam konteks ini pula – awalnya –, sudut pandang atau opini masyarakat terbentuk dalam menganalisis satu perkembangan atau masalah-masalah yang berkaitan dengan interaksi masyarakat (sosialisasi).
            Dalam fungsinya, pranata keislaman ini mencoba untuk memberikan jawaban-jawaban atau solusi-solusi atas pelbagai perkembangan nilai dan fungsi keislaman dikaitkan dengan perkembangan zaman. Tentu saja dalam fungsinya ini, pranata Islam selalu akan menitikberatkan segala sesuatunya bagai kemaslahatan dan kepentingan umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya.
Organisasi Masyarakat sebagai Salah Satu Pranata Islam
            Tak dapat dipungkiri, apabila kita berbicara dalam konteks sosial-keagamaan, kehadiran organisasi masyarakat (ormas) merupakan fenomena yang sangat menarik. Dikatakan menarik, karena ormas, sepeti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, al-Irsyad, Persatuan Islam (Persis), Jama’ah Tabligh dan seterusnya, lahir sebagai sebuah respon dari pembacaan realitas sosial yang terjadi dan berkembang di masyarakat. Pada awalnya, kemunculan dan kehadiran ormas-ormas ini merupakan suatu akumulasi dari kesepakatan yang timbul sebagai usaha untuk mengembangkan misi-misi gerakan Islam. Ormas-ormas ini menyadari bahwa, kebutuhan terhadap suatu institusi atau organisasi Islam sangat diperlukan sebagai kerangka acuan dalam melakukan pemberdayaan sosial-masyarakat dan spiritual-agama menuju suatu kehidupan yang lebih dinamis.
            Dalam perkembangan selanjutnya, kehadiran ormas-ormas ini tidak dibatasi dengan atau sebagai simbol-simbol  gerakan Islam. Lebih jauh, ormas-ormas ini bergerak – sesuai dengan pembacaan realitas sosial-kemasyarakatan yang terus berkembang – dalam wilayah yang lebih luas. Pemberdayaan dan pengembangan sosial menjadi langkah strategis selanjutnya. Kiranya sangat rasional apabila ormas-ormas ini ‘bergumul’ dalam konteks sosial-kemasyarakatan-keagamaan, karena dalam implementasinya banyak sekali keputusan-keputusan ormas yang memilki korelasi dan relevansi dengan konteks sosial. Tentu saja, dalam hal ini ormas-ormas tersebut banyak melakukan kajian-kajian yuridis-normatif maupun teologis-spekulatif. Dampak ini tidak bisa dipisahkan sebagai akibat dari kelahiran awal serta nilai, fungsi seta tujuan ormas-ormas ini.

Muhammadiyah dalam Lintasan Sejarah
A. Kelahiran Muhammadiyah
            Menurut pengamatan Prof. Mukti Ali, salah satu ciri masyarakat Islam ‘modern’ di Indonesia adalah berdirinya organisasi-organisasi Islam, seperti Sarekat Dagang Islam (1909), Muhammadiyah (1912), Tawalib (1918) dan Nahdlatul Ulama (1926).[3] Secara historis, Muhammadiyah lahir pada tanggal 18 November 1912 dengan founding fathers-nya KH. Ahmad Dachlan di Yogyakarta.
Kelahiran Muhammadiyah adalah hasil endapan pemikiran dan gerakan dakwah KH. Ahmad Dachlan terhadap fenomena keagaman di sekitar kampung Kauman. Dengan motode dakwah yang humanistik dan populis-egliter, KH. Ahmad Dachlan menjadi tokoh yang dihormati dan disegani.
Dalam keyakinan teologis yang dibangunnya, KH. Ahmad Dachlan mengambil argumentasi Alquran sebagai postulat utama, yang diambil dari Surat Ali Imran ayat 104:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أُمَّةٌ   يَّدْعُوْنَ  إِلَي اْلخَيْرِ  وَ يَإْمُرُوْنَ  بِاْلمَعْرُوْفِ  وَيَنْهَوْنَ  عَنِ اْلمُنْكَرِ  وََأُوْلَئِكَ  هُمُ اْلمُفْلِحُوْنَ {آل عمران: 104}
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar[4]; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Dalam pemahaman – sekaligus tafsiran ayat ini – KH. Ahmad Dachlan, menganalogikan kata أُمَّةٌ dengan pembentukan suatu organisasi yang bertujuan menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran.
B. Setting Sosial
C. Muhammadiyah dan Pemikiran Wahabi[5]
            Secara historiografi, kelahiran Muhammadiyah – dan banyak ormas Islam lainnya – banyak terinspirasi oleh gerakan Pan Islamisme dengan Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh sebagai tokoh sentralnya, secara umum dan gerakan Wahabi dengan Muhammad Su’ud dan Abdul Wahhab sebagai tokohnya di dunia Arab, tepatnya Arab Saudi, secara khusus, Dalam banyak pemikiran, kondisi Muhammadiyah awal banyak memiliki ciri dan kesamaan dengan gerakan Wahabi.
            Muhammadiyah awal adalah sebuah gerakan purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dari kondisi dan realitas konsep ‘TBC’ (tahayu, bid’ah dan Khurafat) yang telah menggejala secara luas dalam masyarakat Indonesia sehingga menjadi penyakit dan dilema yang krusial bahkan telah memasuki stadium akut. Dengan semangat purifikasi inilah, Muhammadiyah menjadi salah satu gerakan yang ‘elitis’ dan ‘eklektis’.  
D. Posisi Muhammadiyah: Historisitas Gerakan Sosial-Keagamaan
            Gerakan purifikasi Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH. Ahmad Dachlan pada awal abad ke-20 juga ditentang oleh ulama tradisional – kelak pada tahun 1926 melahirkan NU yang didukung oleh kelompok ulama yang berbasis pada pesantren-pesantren di pedesaan –. Hanya saja reaksi itu tidak terlalu keras dan tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial. Tentangan dari kelompok tradisional itu tidak terlalu keras, karena lahan garapan pembaharuan Muhammadiyah bukan masyarakat pedesaan, melainkan masyarakat kota, terutama pedagang, pengusaha dan kaum priyayi yang lebih dinamis dan cenderung menyambut gagasan-gagasan perubahan.
            Hal yang menarik adalah strategi dan metode yang dipakai oleh Muhammadiyah, KH. Ahmad Dachlan sangat menyadari suasana kebangkitan nasional pada waktu itu. Dia menagkap suara zaman yang mengisyaratkan bahwa perubahan-perubahan kemasyarakatan akan terjadi di daerah perkotaan yang berbasiskan golongan menegah. Dan dia pun melihat bahwa seruannya akan beroleh sambutan di kalangan ini.[6]
Membaca Konsep Tajdid Muhammadiyah dari Masa ke Masa
A. Konsep Tajdid Muhammadiyah
            Secara makro-global, organisasi Islam mempunyai dua proyek besar, yaitu: pertama, pembentukan dan penyempurnaan Tauhid dan kedua, mencapai kemerdekaan. Setelah kemerdekaan dicapai, maka segala potensi dan daya upaya dikerahkan untuk menyempurnakan proyek pertama yaitu pembentukan dan penyempurnaan Tauhid. Yang menarik dikaji adalah perjuangan pembentukan dan penyempurnaan Tauhid yang dirancang di awal abad ini dalam hubungannya dengan pergumulan pemikiran keagamaan-keislaman di satu sisi dan sosial-kemasyarakatan di sisi lain di tanah air selama dua dekade terakhir terutama ketika arus globalisasi ilmu dan budaya semakin deras memasuki wilayah pemikiran dan sosial umat Islam di tanah air.[7]
B. Muhammadiyah dan Tantangan Sosial Masa Depan: Implementasi Konsep Tajdid
            Perubahan sosial umat beragama dewasa ini, dalam era kapitalisme global yang tidak mengenal batas wilayah hunian manusia dan tradisi lokalnya, telah terjadi secara radikal. Dalam keadaan seperti ini, tidak hanya kapital yang sulit dibatasi larinya ke mana-mana mencari tempat di mana hitungan untung secara kapitalistik telah menjadi pertimbangan utama, tapi juga kekuatan kapital itu telah mempunyai akibat terhadap aspek sosial dan kemanusiaan yang lain.
            Diasporanya umat manusia dari Negara-negara miskin pergi dengan segala resiko mengadu untuk mencari kehidupan yang lebih baik di Negara-negara maju. Lebih dari itu, kapitalisme global sekarang ini tak saja meneguhkan ketimpangan sosial dan ekonomi dan melahirkan gaya hidup yang penuh resiko, tapi juga – yang tidak kalah bahayanya – telah memunculkan berbagai ketidakpastian. Dari berbagai ketidakpastian yang paling merisaukan, sesungguhnya berkenaan dengan desakan untuk mempertanyakan “kepastian iman” kita saat berhadapan dengan pluralitas kebenaran, pluralitas jati diri dan sosial, serta pluralitas pengalaman menghadapi kenyataan obyektif dari pergulatan hidup sehari-hari.[8]
            Tentunya kenyataan ini terletak pada masalah, mengapa Islam yang menganjurkan nilai-nilai kemodernan, ternyata umatnya terbelakang? Soal ini bisa dijawab dengan pertanyaan yang perlu diajukan terlebih dahulu, yaitu: apakah nilai-nilai kemodernan yang terdapat pada ajaran Islam itu telah dirumuskan menjadi apa yang disebut “model untuk realitas” (model of reality), meminjam istilah Clifford Geertz? Jika sudah, maka nilai-nilai itu akan bekerja sebagai sistem simbol atau sistem budaya yang operasionalnya bekerja dalam dan mempengaruhi sikap perilaku umat melalui sistem berfikir.
            Apa yang kini terjadi di Indonesia dan Negara-negara yang sedang berkembang umumnya adalah ekspansi ilmu pengetahuan Barat melalui apa yang selama ini kita kenal sebagai proses modernisasi atau pembangunan, menurut versi kita. Proses modernisasi tersebut merupakan wahana bagi ekspansi ekonomi negara-negara industri ke Indonesia. Secara tidak kita sadari, atau dalam keadaan setengah sadar, kita telah berfikir dalam logika ekpansi kapital. Dalam versi kita sendiri, kita dewasa ini sedang memanfaatkan teknologi dan modal Barat, dalam apa yang kita sebut sebagai pembangunan khususunya pembangunan ekonomi.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh proses modernisasi (dari perspektif Barat) dan pembangunan (dari perspektif Indonesia) adalah perubahan struktur ekonomi dan pergeseran-pergeseran masyarakat. Peranan sektor industri dan jasa telah menggeser peranan sektor petanian dalam struktur produksi nasional. Dalam masyarakat telah terjadi mobilita horizontal, misalnya urbanisasi dan migrasi ke pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, dan mobilitas vertikal, dengan timbulnya elit baru, seperti timbulnya birokrat terpelajar, kelas professional dan dan lapisan intelegensi yang lebih luas. Mobilitas horizontal terjadi karena timbulnya nilai-nilai baru, yaitu aspirasi untuk mengejar kesejahteraan yang lebih tinggi, sehingga mengalahkan nilai-nilai tardisional yang mengikat, seperti nilai-nilai tekno-ekonomi atau nilai-nilai masyarakat urban yang mengalahkan nilai-nilai tradisional, seperti keterikatan pada dan keselarasan dengan irama alam, budaya tatap muka, budaya lisan dan primordialisme atau keterikatan pada asal-usul. Itu semua merupakan transformasi budaya yang terjadi tanpa banyak kita sadari.[9]
C. Men-tajdid-kan Muhammadiyah: Reformulasi Gerakan untuk Pemberdayaan Sosial-Keagamaan
           
D. Strategi Dakwah Pemberdayaan Masyarakat
1.  Teologi al-Ma’un: Teori dan Implementasi
            Teologi al-Ma’un merupakan suatu konsep yang diambil dari Surat al-Ma’un. Dalam surat ini, terdapat pembelajaran yang sangat berharga, sebagai upaya membangun etos moralitas-spritualitas disatu sisi – dengan berkaca terhadap fakta realitas keagamaan – dan sosial-budaya – dengan melihat fakta ketidakadilan sosial dalam kerangka makro – dengan harapan dan tujuan memberdayakan kembali prinsip-prinsip utama umat Islam umumnya dan warga Muhammadiyah dalam menciptakan tatanan yang seimbang dalam persoalan-persoalan politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
            Surat al-Ma’un berbunyi:
أَرَأَيْتَ  اَّلذِيْ  يُكَذِّبُ  بِالدِّيْنِ{1} فَذَالِكَ  اَّلذِيْ  يَدُعُّ  اْليَتِيْمَ {2} وَلاَ  يَخُضُّ  عَلَي  طَعَامِ اْلمِسْكِيْنِ {3} فَوَيْل ٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ {4} َالَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ {5} َالَّذِيْنَ  هُمْ يُرَاؤُوْنِ {6} وَيَمْنَعُوْنَ   اْلمَاعُوْنَ{7}
           
2. Pemberdayaan Masyarakat: Suatu Perspektif Muhammadiyah


[1] Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta, Paramadina), Cet. III, 2004, h. 3.
[2] Ibid. h. 4
[3] Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar), Cet. III, 2004, h. 251.
[4] Kata ma’ruf ditafsirkan dengan segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah, sedangkan kata munkar ditafsirkan dengan segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. Lihat, Departemen Agama, Da’wah dan Bimbingan Islam, Al-Quran dan Terjemahnya, (Arab Saudi, Madinah al-Munawwarah), 1999, h. 93, footnote. 217.
[5] Charles Kurzman dalam pengantar bukunya, memasukan gerakan Wahabi sebagai gerakan revivalist Islam. Gerakan revivalist Islam ini meruapan gerakan kontra-prodtif terhadap segala bentuk pemikiran dan ritualistic gerakan costumary Islam. Dengan jargon ‘purifikasi ajaran Islam’ gerakan revivalist Islam ini membid’ahkan segala macam tradisi keagamaan yang dianggap ‘salah’ dan ‘nyeleneh’, yang pada akhirnya menghasilkan perdebatan dan konstelasi pemikiran yang ‘tak berkesudahan’ dengan costumary Islam. Lihat, Kurzman, Charles, Islam Liberal: Wacana Islam dalam Menjawab Isu-Isu Global, terj….(Jakarta, Paramadina), Cet. II, 2003.
[6] Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung, Mizan), Cet. IV, 1999, h. 225-226.
[7] Abdullah, M. Amin. op. cit. h. 251.
[8] Abdurrahman, Moeslim, Islam Yang Memihak, (Yogyakarta, LKiS), Cet. I, 2005, h. 11-12.
[9] Rahardjo, M. Dawam, Islam dan Transformasi Budaya, (Jakarta, IIIT & LSAF), Cet. I, 2002, h. 285-287.

2 komentar: