Senin, 13 Desember 2010

TUHAN, ALAM, MANUSIA DAN KEBUDAYAAN


TUHAN
Doktrin keyakinan kepada Allah adalah penting bagi Islam. Al-Quran mengasumsikan adanya Allah dan tidak memperdebatkannya. Keyakinan kepada Allah digambarkan oleh Al-Quran sebagai keyakinan atau kesadaran kepada yang gaib.[1] Dalam Islam, keyakinan terhadap yang gaib ini harus dipahami sebagai kesadaran religius akan kemahahadiran Tuhan (omnipresent); bahwa Tuhan yang gaib itu, maha dekat[2] dan maha hadir serta selalu mengawasi. Allah berada di mana-mana,[3] ke mana pun menghadap di sanalah wajah Tuhan.[4] Allah lebih dekat daripada urat leher dan mengetahui apa yang dibisikan dalam hati.[5] Ringkasnya, Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya; dan tidak dari lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya; dan tidak (pula) yang sedikit dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada.[6]
Untuk menunjukan kehadiran dan kedekatan tersebut, terkadang Tuhan memperkenalkan diri-Nya dalam wujud seperti manusia. Dalam Al-Quran Tuhan digambarkan seolah-olah memiliki wajah, tangan dan mata.[7] Terkadang Tuhan juga memperkenalkan diri-Nya dalam bentuk prilaku, sunnah atau jejak-Nya pada alam. Secara umum, gambaran Tuhan ini dinyatakan Al-Quran dalam term âyat (in-deks).[8] Hal ini dimaksudkan agar Tuhan secara mudah dapat dikenal sebagaimana pernyataan hadits Qudsi yang sangat populer di kalangan sufi:

“Aku adalah khazanah tersembunyi, dan Aku ingin dikenal, karena itu Aku ciptakan makhluk agar Aku dapat di kenal”. [9]

Bahkan Allah memperkenalkan diri-Nya secara langsung dengan sifat esensial-Nya melalui nama-nama-Nya yang indah (al-asmâ’ al-husna).[10] Menurut Al-Jurzani, Allah adalah isim alam yang menunjuk pada Tuhan sejati (haq), yang tercakup di dalamnya asmâ’ al-husna seluruhnya.[11] Dalam pengertian ini, Nurcholish Majid mengungkapkan bahwa kualitas-kualitas Ilahi tersimpul dalam asmâ’ al-husna yaitu nama-nama indah Tuhan.[12]
Pemahaman empiris terhadap asma Allah al-husna ini dapat disimpulkan pada tiga kualitas Ilahi, yaitu kemahakuasaan, kemahakasihan dan kemahasucian. Kemahakuasaan Tuhan tampak terutama dalam kekuasaan-Nya untuk mencipta (al-Khâliq, al-Barri, al-Mutashawwir).[13] Dalam ayat lain disebutkan “Inna rabbaka huwa al-khallâq al-alîm,[14]Balâ wa huwa al-khalâq al-alîm”.[15] Kemahakuasaan Tuhan ini tampak juga dalam asma Allah al-husna yang lainnya seperti al-Azîz, al-Jabbâr, al-Mutakabbir dan Dzu al-Ja-lâl.
Tentang kemahakasihan Tuhan, digambarkan oleh Al-Quran dalam nama-Nya al-Rahmân, al-Rahîm[16] dan al-Wadûd.[17] Gambaran yang paling jelas tentang kemahakasihan Tuhan ini dinyatakan dalam Al-Quran sebagai persaksian Tuhan sendiri ”Kataba ‘alâ nafsihi al-rahmat (Dia telah menetapkan (mewajibkan) atas diri-Nya kasih sayang),[18] dan “Wa rahmatî wasi’at kulla syai’in” (Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu).[19] Ayat terakhir ini, merupakan generalisasi dari perbincangan tentang rahmat dalam Al-Quran bahwa tidak ada sedikitpun dari aspek kehidupan yang terlepas dari rahmat (kemahakasihan) Tuhan. Asma Allah lainnya yang menggambarkan kemahakasihan Tuhan adalah as-Salâm (yang memberikan kesejahteraan), al-Mu’min (yang memberikan rasa aman), al-Wahhâb (pemberi), al-Razzâq (pemberi rizki) dan sebagainya.[20]
Sementara kemahasucian Tuhan sering digambarkan oleh Al-Quran dalam bentuk pernyataan “  ilâha illâ huwa subhânahu ‘ammâ yusyrikûn (Tidak ada Tuhan [yang berhak disembah] selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan).[21] Dan satu-satunya asma Allah al-husna yang menunjuk pada kemahasucian ini adalah al-Quddûs.[22] Doktrin kemahasucian Allah ini berkait erat dengan keyakinan atau pandangan mendasar Al-Quran mengenai doktrin Allah, yaitu yang menekankan bahwa Allah merupakan satu-satunya Ilahi dan bahwa Dia tidak mempunyai sebaya atau mitra.[23] Al-Quran berulang-ulang mengecam tindakan atau bentuk penyembahan kepada selain Allah atau menyekutukan Allah (syirik).[24] Penegasan bahwa Allah satu-satunya Ilahi ini dinyatakan dalam pengakuan atau deklarasi kebenaran (declaration of truth) iman Islam atau kesaksian (syahadah) “tidak ada tuhan selain Allah” (lâ ilaha illâ al-Allâh).[25] Doktrin ini menunjukan bahwa satu-satunya jalan yang lurus adalah jalan menuju kepada Allah, sedang jalan yang selain daripada itu adalah jalan yang menyimpang.[26] Inilah puncak spiritualitas dalam Islam sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran surat al-An’am [6]: 162, yang artinya:

“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.

ALAM
Alam atau kosmos merupakan satu-satunya bukti rasional paling penting untuk menunjuk adanya eksistensi Tuhan sekaligus merupakan indeks (âyat) kemahakuasaan, kemahakasihan dan kemahasucian Tuhan serta merupakan prilaku, sunnah atau jejak-Nya. Dalam Al-Quran, konsep dasar penciptaan biasanya menggunakan konsep khalaqa (menciptakan, menjadikan, membentuk), fa sawwa (menyempurnakan, memperlengkapi bentuknya), qaddara (menetapkan ukuran-ukuran, potensialitas-potensialitas dan hukum-hukumnya) fa hada (memberikan kerangka petunjuk atau pedoman dalam pengembangan dinamisnya) dan ‘adala (menyeimbangkan seluruh tatanannya). Secara semantik, kelima konsep di atas merupakan konsep utama atau kata fokus dalam doktrin kosmologi Al-Quran.[27]
Secara garis besar, konsep khalaqa, sawwa, qaddara, hada dan ‘adala merupakan satu sistem kesatuan konsep penciptaan yang melahirkan lima postulat universal Al-Quran tentang eksistensi alam atau kosmologis. Pertama, eksistensi alam atau kosmos adalah hasil ciptaan atau kreasi Tuhan, tidak eksis begitu saja secara mekanik; Kedua, eksistensi alam atau kosmos tidak mengandung kecacatan, keganjilan, melainkan tertata secara sempurna; Ketiga, eksistensi alam atau kosmos bergerak dinamis mengikuti qadarnya (ukuran-ukuran), hukum-hukum (konstitusi) batin serta potensialitas-potensialitasnya; Keempat, eksistensi alam atau kosmos memiliki petunjuk-petunjuk atau pedoman gerak sendiri; dan kelima, eksistensi alam atau kosmos bergerak secara seimbang.
Dari kelima postulat universal tersebut, doktrin fundamental kosmologis Al-Quran terpenting adalah keteraturan, keseimbangan—bahwa tidak ada pelanggaran-pelanggaran hukum dalam tata kosmos. Al-Quran mengungkapkan doktrin keteraturan kosmos ini dengan istilah tidak adanya futhûr (cacat) dan tafâwut (chaos).

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang cacat (futhûr). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang (chaos, tafâwut)”.[28]

Doktrin fundamental kedua tentang alam (kosmologis) dalam Al-Quran, yaitu bahwa alam atau kosmos ini berkembang secara dinamis, tidak statis dan Tuhan sendiri yang mengembangkannya.

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya”.[29]

Dalam fisika modern, perkembangan alam yang dinamis ini dikenal dengan teori expanding universe.[30] Berbeda dengan pandangan paradigma materialistik modern yang memandang alam sebagai mesin raksasa yang bergerak dan berkembang dengan sendirinya secara mekanik mengikuti hukum-hukum mesin tersebut tanpa ada intervensi dari kekuatan luar. Sementara dalam doktrin kosmologis Al-Quran, posisi Tuhan ikut menentukan tata kosmos dalam pergerakan dan perkembangannya. Dengan ungkapan lain, doktrin kosmologi Al-Quran dapat dikatakan sebagai teo-kosmologi atau kosmologi spiritual, yaitu suatu tatanan kosmos yang tidak terlepas dari dimensi transenden atau ketuhanan.
Doktrin fundamental ketiga tentang alam atau kosmologi Al-Quran adalah doktrin bahwa alam semesta benar-benar menjadi realitas yang hak (tidak batil, semu) dijadikan Tuhan secara serius, tidak main-main.[31] Doktrin ini menolak pandangan kaum idealisme yang menyatakan alam ini sebagai sesuatu yang semu.
Melalui doktrin kosmologi ini, maka eksistensi amal manusia menjadi signifikan. Dan inilah sebenarnya yang menjadi gagasan moral doktrin kosmologi dalam Al-Quran, yaitu untuk menguji, menseleksi kekaryaan manusia yang terbaik.[32] Manusia dituntut untuk bekerja, berkarya sesuai dengan hukum-hukum (konstitusi) alam tersebut. Pelanggaran terhadap hukum-hukum (konstitusi) alam tersebut akan mengakibatkan disequilibrium tata kosmos dan mengarah kepada chaos serta kehancuran. Atas dasar peran dan signifikansi inilah, seluruh alam berserah diri (taslîm)[33] dan tunduk kepada Allah[34] untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia dan agar kekaryaan manusia dapat teruji.  


MANUSIA
Al-Quran dengan cara yang sangat khas dan penuh daya tarik mengungkapkan keyakinan atau pandangan mendasarnya tentang gambaran hakikat manusia melalui konsep-konsepnya. Dalam Al-Quran, terdapat tiga konsep fokus (sentral) yang menunjukan makna pokok tentang manusia yaitu al-basyar, al-insân dan an-nâs. Pemahaman empiris terhadap penempatan konsep basyar dalam keseluruhan Al-Quran mengindikasikan bahwa al-basyariyat di situ berarti dimensi fisik dan biologis manusia yang suka makan dan minum,[35] jalan-jalan di pasar[36] dan memiliki kemauan biologis atau seks.[37] Kata basyirûhunna yang digunakan oleh Al-Quran sebanyak dua kali, juga diartikan dengan hubungan seks.[38] Dalam dimensi ini, seluruh manusia memiliki kesamaan kemanusiaan termasuk para Nabi.[39] Karenanya, kenyataan akan kesamaan kemanusiaan ini juga yang menyebabkan orang-orang kafir mengingkari kenabian para Rasul. Mereka mempertanyakan kenapa Rasul yang diutus itu makan makanan dan berjalan di pasar-pasar, bukan malaikat.[40]
Dengan demikian, secara singkat dapat dijelaskan bahwa konsep basyar dalam Al-Quran selalu dihubungkan dengan sifat-sifat fisik dan biologis manusia, seperti makan, minum, seks dan berjalan-jalan di pasar. Manusia dalam pengertian basyar ini, lebih lanjut dapat dilihat antara  lain dalam surat Ibrahim [14]: 10; Hud [11]: 26; al-Mukminun [23]: 24; al-Syu’ara [26]: 154; Yasin [36]: 15 dan al-Isra [17]: 93.
Adapun konsep al-Insân dalam Al-Quran disebut sebanyak 65 kali dalam pengertian: pertama, konteks insân yang dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah Allah di atas bumi (khalifat al-Allah fi al-‘ardh) yang diberi tanggung jawab dan amanah,[41] karena manusia memiliki kemampuan atau kapasitas intelegensia yang tinggi[42] mempunyai ilmu[43] dan kemampuan al-bayân.[44] Kedua, konteks insân yang dihubungankan dengan kekurangan dan kelemahan (predisposisi negatif) manusia. Dalam Al-Quran, manusia digambarkan sebagai makhluk yang lemah,[45] zhalim dan kufur,[46] merasa dirinya puas dan cenderung untuk melupakan Tuhan ketika ia memperoleh nikmat dan bencana.[47] Predisposisi negatif lainnya, juga disebutkan dalam banyak ayat yang menggambarkan manusia sebagai makhluk pembangkang,[48] banyak berdebat[49] dan suka menentang Tuhan.[50] Manusia juga digambarkan oleh Al-Quran sebagai makhluk yang suka melampaui batas,[51] suka tergesa-gesa,[52] kikir[53] dan bersikap keluh kesah.[54] Ketiga, konteks insân yang dihubungkan dengan proses penciptaan yang antara lain terdapat dalam QS. al-Hijr [15]: 26; al-Mukminun [23]: 12-14; al-Rahman [55]: 14; dan al-Sajdah [32]: 7.
Jika memahami lebih mendalam mengenai konsep al-insân dalam Al-Quran sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka akan ditemukan intensitas makna al-insân yang berbeda dari manusia dalam konsep basyar. Keistimewaan dan kelemahan (predisposisi negatif) manusia yang digambarkan oleh Al-Quran, lebih bersifat psikologis ketimbang fisik atau biologis. Dengan demikian, secara singkat konsep insân dalam Al-Quran mengandung makna yang mengindikasikan manusia sebagai makhluk yang bersifat (berdimensi) psikologis.
Oleh karena itu, yang menarik dalam penggambaran Al-Quran mengenai proses penciptaan manusia adalah penggunaan konsep insân dan basyar secara sekaligus. Hal ini menunjukan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang memiliki fisik-biologis sekaligus psikologis. Misalnya Al-Quran menyebut proses penciptaan manusia dari tanah liat, sari pati tanah dan tanah dengan menggunakan konsep insân dan basyar dalam QS. al-Hijr [15]: 26, 28; Shad [38]: 71; al-Rahman [55]: 14; al-Mukminun [23]: 12-14; al-Sajdah [32]: 7; al-Rum [30]: 20.[55]
Dalam proses penciptaan manusia yang lebih penting lagi adalah pada saat dihembuskannya ruh Tuhan sebagai kesempurnaan ciptaan. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa manusia setelah dibentuk sedemikian rupa, kemudian Tuhan meniupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia.

“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya sebagian dari ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.[56]

Ayat ini menunjukan bahwa manusia merupakan makhluk ruhani atau spiritual karena manusia memiliki “ruh” Tuhan yang bersifat ruhani-spiritual.
Terakhir konsep an-nâs disebut Al-Quran sebanyak 240 kali dalam pengertian manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki kesadaran kelas. Di antara surah dalam Al-Quran yang menjelaskan pengertian ini adalah surat al-Hujurat [49]: 13. Surat ini menunjukan secara jelas kecenderungan bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan dan dijadikannya berbangsa-bangsa dan bersuku untuk saling mengenal. Ayat ini menunjukan bahwa manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga cenderung untuk berkelompok-kelompok, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa (bersosial).[57]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pandangan mendasar Al-Quran tentang hakikat manusia adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang berdimensi pisik, biologis, psikologis, sosial dan spiritual atau dengan kata lain manusia adalah makhluk fisiko-bio-psiko-sosio-spiritual.
Keyakinan atau pandangan dasar Al-Quran tentang manusia di atas, memberikan implikasi lebih jauh dalam pencapaian derajat kemanusiaan yang digambarkan Al-Quran sebagai ahsanu taqwîm atau sebaik-baiknya penciptaan[58] dan sebagai makhluk yang dimuliakan Tuhan.[59] Menurut Al-Quran derajat fi ahsani taqwîm hanya dapat diperoleh dengan keimanan dan amal shaleh. Keimanan menuntut pengembangan serta pengasahan jiwa (psikologis) dan ruhani (spiritual). Sementara amal shaleh menuntut pengembangan fisik dan kesejahteraan biologis. Oleh karena itu, segala bentuk aktivitas kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, ekologi maupun kekaryaan yang lainnya, harus diorientasikan bagi pengembangan manusia secara utuh baik dimensi fisik, biologis, maupun dimensi psikologi, sosial dan spiritualnya agar dapat memperkuat keimanan dan meningkatkan kekaryaan yang baik (amal shaleh).
Kelemahan manusia yang paling mendasar dan yang menyebabkannya terlempar ke dalam derajat yang paling rendah (asfala sâfilîn) adalah “kepicikan” dan “kesempitan” akal pikirannya. Al-Quran secara terus-menerus menyebutkan kelemahan ini dalam berbagai bentuk dan konteks yang berbeda. Baik kesombongan (arogance) dan sikap lebih mementingkan diri sendiri (self centred), maupun sering menampakan sikap ketamakannya, pada dasarnya adalah karena kepicikan pikirannya tersebut. Karena kepicikan inilah, manusia mempunyai sifat terburu nafsu dan karena sifat terburu nafsu inilah, manusia menjadi sombong dan putus asa. Oleh karena itu, Al-Quran mengingatkan manusia untuk mempergunakan kemampuan intelegensi dan hati nuraninya[60] agar manusia dapat selamat dari keterlemparannya ke dalam derajat asfala sâfilîn dan kembali kepada derajat fi ahani taqwîm yang dimuliakan Tuhan.
Di antara kelemahan watak manusia yang lain adalah mudah melupakan Tuhannya pada saat mendapatkan nikmat dan kejayaan. Tetapi jika tertimpa musibah dan kesulitan, dia menunduk dan meratap dihadapan Tuhan.[61] Al-Quran berulangkali menegaskan bahwa setelah memperoleh rahmat, manusia segera melupakan Tuhannya. Jika manusia merasa puas dan berkecukupan, maka manusia tidak melihat peranan Tuhan di dalamnya; tetapi jika mendapat kesusahan, ia menjadi putus asa dan berpaling kepada Tuhan.[62] 
Kecenderungan melupakan Tuhan tersebut mengakibatkan manusia lupa akan hakikat dirinya sendiri yang tidak dapat melepaskan dari Tuhannya. Sebab sekali manusia terlepas dari Tuhannya, maka manusia akan mengalami fragmentasi eksistensi atau keterpecahan kepribadiaannya (split personality). Karenanya Al-Quran juga mengingatkan manusia untuk tidak sekali-kali melupakan Tuhannya, sebab Tuhan akan membuat manusia lupa akan dirinya sendiri.[63]
Itulah karakter manusia yang selama dia hidup dalam kesungguhan menjalani proses kemanusiaannya, manusia akan selalu mendapatkan kesusahan dan mengalami cobaan sampai akhir hayatnya. Manusia akan banyak mendapatkan kesusahan karena  harus menempuh jalan yang mendaki untuk mewujudkan eksistensi kemanusiaannya dan memenuhi tanggung jawab sosialnya.[64] Namun demikian, Tuhan dengan kemahapengasihan-nya, memberikan pengharapan dan optimisme kepada manusia bahwa di dalam menempuh kesulitan tersebut, manusia akan mendapatkan  jalan kemudahan[65] asalkan manusia menjalani tiga persyaratan, yaitu a’thâ (mendermakan sebagian hartanya di jalan Allah), al-taqâ (bertaqwa) dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (shaddaqa bil husnâ). Jika ketiga persyaratan tersebut dipenuhi, maka Tuhan akan memberikan jalan kemudahan kepadanya.[66]
A’thâ atau kedermawanan (al-munfiqûn) adalah sikap mau menolong sesama manusia terutama mereka yang kurang beruntung. Sikap mau menolong kepada orang yang membutuhkan atau mereka yang kurang beruntung, akan mendatangkan keuntungan dan kemudahan bagi dirinya karena orang yang mendermakan hartanya tersebut akan mendapat bantuan secara langsung dari Tuhan. Allah menjanjikan akan hal ini dalam sebuah hadist Qudsi yang menyatakan bahwa “Allah akan menolong hambanya, selama hambanya tersebut mau menolong saudaranya”. Bahkan Al-Quran sendiri lebih menegaskan bahwa “jika kamu berbuat kebaikan, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Sebaliknya jika kamu berbuat jahat (tidak baik), maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri”.[67]
Al-taqâ atau ketaqwaan adalah sikap sadar bahwa Allah selalu mengawasi kita, kemudian kita berupaya untuk berbuat sesuatu hanya karena dan yang diridhoi-Nya. Ketaqwaan pada tingkatan tertinggi menunjukan kepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral. Inilah yang oleh Fazlur Rahman disebut semacam “stabilitas” yang terjadi setelah semua unsur-unsur yang positif diserap masuk ke dalam diri manusia.[68] Melalui kualitas ketaqwaan inilah, partisipasi Tuhan terbuka sehingga manusia akan terhindar dari segala kesusahannya. Firman Allah :

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar”. “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. [69]
  
Sementara sikap shaddaqa bil husnâ (membenarkan adanya pahala yang terbaik), akan mendorong manusia untuk selalu bersikap optimis dan berkompetisi dalam menciptakan kekaryaan yang terbaik (fastabiq al-khairât). Dan dengan demikian, baik sikap a’thâ, al-taqâ maupun shaddaqa bil husnâ, akan mengantarkan manusia kepada jalan kemudahan dalam menghadapi kesusahan dan ujian dalam proses menjalani kemanusiaannya.

KEBUDAYAAN
Keyakinan atau pandangan mendasar tentang kebudayaan, pada hakikatnya berkait erat dengan keyakinan atau pandangan mendasar tentang kehidupan. Dalam Islam, pandangan mendasar tentang kehidupan adalah perwujudan peran atau fungsi hidup manusia sebagai ‘abd Allâh (hamba Allah) dan khalîfat Allah fi al-ard[70] (khalifah Allah di atas bumi). Dimensi ‘abd adalah dimensi moralitas, se-dangkan dimensi khalifat adalah dimensi rasionalitas. Kesatuan ‘abd-khalifah adalah kesatuan moralitas dan intelektualitas.[71]
Dalam kafasitasnya sebagai khalîfat Allah fi al-ard’, manusia dituntut untuk membangun dan memakmurkan alam[72] serta melakukan perbaikan (ishlâh, reformasi) di dalamnya.[73] Dalam kerangka kekhalifahan inilah, manusia dipandang bukan sebagai makhluk yang hidup dalam status naturalis (keadaan alami), melainkan manusia memiliki tugas untuk mengolah alam sebagai penyempurnaan hidupnya dalam rangka beribadah kepada Tuhan, sehingga dengan demikian manusia menjadi makhluk yang berkebudayaan (status civilis).[74]   
Dalam perannya sebagai khalîfat Allah fi al-ard’, terdapat suatu muara prinsip kekhalifahan dalam kehidupan berkebudayaan manusia yakni penegakkan tata moral dan keharusan melakukan perbaikan (ishlâh atau reformasi) di atas bumi. Dalam Al-Quran surat  al-A’raf [7]: 56 dinyatakan:

"Dan janganlah kamu membuat keruksakan dimuka bumi sesudah diperbaiki (direformasi), dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa cemas dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”
  
Al-ishlâh atau reformasi yang disebut dalam ayat di atas, berakar sama dengan kata-kata shâlih (shaleh) dan maslahah (maslahat) yang mengandung makna baik, kebaikan dan perbaikan. Pernyataan Al-Quran “janganlah membuat keruk-sakan di bumi sesudah direformasi”, mengandung makna ganda. Pertama, larangan merusak bumi setelah dilakukannya reformasi atau perbaikan bumi itu oleh Tuhan pada saat menciptakannya. Makna ini menunjukan bahwa tugas manusia sebagai khalîfat Allah fi al-‘ardh adalah untuk memelihara bumi, karena bumi itu sudah merupakan tempat yang baik bagi hidup manusia. Jadi tugas reformasi bumi di sini, berkaitan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang alami dan sehat.
Kedua, larangan membuat kerusakan di atas bumi setelah terjadi reformasi oleh manusia sendiri. Hal ini merupakan tugas reformasi aktif manusia untuk berusaha menciptakan sesuatu yang baru, yang baik (saleh) dan membawa kebaikan (maslahat) untuk manusia.[75]
Ayat lain yang senada dengan gagasan reformasi bumi di atas, terdapat dalam surat Al-A’raf [7]: 85 berkenaan dengan kisah Nabi Syu’eb a.s. :

“Dan Kami telah utus kepada penduduk Madyan sau-dara mereka Syu’aib. Ia berkata : “Hai kaumku sembah-lah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat keruksakan di muka bumi sesudah re-formasinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”.

Dalam konteks yang agak berbeda dengan ayat reformasi bumi di atas, ide reformasi bumi dalam ayat yang kedua ini, berkaitan dengan ajaran tentang kejujuran dan keadilan ekonomi. Jelas sekali Al-Quran mengisyaratkan bahwa reformasi bumi berkaitan langsung dengan prinsip kejujuran dan keadilan dalam kegiatan hidup, khususnya dalam kegiatan ekonomi. Sebab bumi yang telah direformasi (reformed earth) tidak boleh mengenal terjadinya perolehan kekayaan secara tidak sah dan tidak adil.[76]

“Janganlah kamu memakan harta sesamamu secara tidak benar dan kamu membawa urusan itu kepada para hakim supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan kejahatan padahal sebenarnya kamu menyadari”[77]

Inilah amanat kekhalifahan manusia dalam menciptakan tatanan masyarakat yang etis, egaliter dan berkeadilan secara ekonomi.
Kesulitan yang mungkin akan dihadapi dalam melakukan reformasi kehidupan sosial manusia di bumi adalah adanya halangan-halangan dari sistem politik dan legal formal (hukum resmi yang berlaku) yang memberi pembenaran kepada suatu kejahatan atau dilindungi oleh penguasa yang dzalim.  Karenanya, reformasi bumi dalam kehidupan sosial tidak boleh tidak harus juga ditempuh reformasi bumi dalam kehidupan hukum dan politiknya. Sebab selama halangan-halangan tersebut tidak disingkirkan, maka jalannya reformasi tidak akan dapat berlangsung secara sempurna.
Reformasi kehidupan dibidang hukum dan politik di bumi bukanlah hal yang mudah seperti membalikan telapak tangan, tetapi selain memerlukan waktu yang sangat panjang, juga harus dilakukan secara sistematis dari mulai pembenahan kembali mentalitas dan pendewasaan wawasan hukum serta politiknya. Reformasi seperti itu, tidak boleh tidak menuntut suatu model pendidikan yang dapat melahirkan transformasi atau perubahan-perubahan yang mendasar dalam prilaku hukum dan politik masya-rakat. Karenanya, reformasi bumi sebagai muara dari seluruh prinsip kekhalifahan manusia menghendaki dilakukannya reformasi dalam segala bidang kehidupan termasuk pendidikan.
Satu hal dari pemikiran tentang reformasi bumi (kebudayaan) sebagai suatu muara dari seluruh prinsip kekhalifahan manusia adalah cita-cita moral untuk menciptakan perdamaian di atas bumi ini.[78] Cita-cita moral ini, tentu saja harus ditangkap secara baik dalam perspektif penampakan Tuhan pada alam semesta. Tanpa penangkapan penampakan Tuhan dalam alam secara cermat, reformasi bumi tidak akan berhasil. Sementara ini, penampakan atau ekspresi Tuhan dalam alam hanya ditangkap dari sudut kekerasan atau kekuatan-Nya (Jalâliyat, al-jabbâr, al-mutakabbir) dan mengabaikan kelembutan (Jamâliyat, al-rahmân, al-rahîm)-Nya. Sehingga yang tampil adalah kekerasan-kekerasan, konflik dan perang serta simbol-simbol dari kekerasan tersebut.
Jika mengamati ekspresi Tuhan dalam alam semesta ini, kita mendapati penuh dengan keseimbangan (perpaduan) antara kekuatan Tuhan dan kelembutan-Nya. Langit dan bumi atau yang dikenal dengan alam semesta ini, merupakan ekspresi Tuhan yang merefleksikan perpaduan antara kekuatan atau gerak dinamis dengan kelembutan. Langit yang dalam bahasa Al-Quran disebut al-samâ, berarti yang tinggi dan selalu berada di atas, mengekspresikan sifat Jalâl atau kekuatan, keagungan dan gerak dinamis Tuhan. Dan bumi yang dalam bahasa Al-Quran disebut al-ard’, berarti berusaha dan menghasilkan, membuahkan hasil, bersikap merendah dan menyerah serta secara alamiah terpanggil untuk berbuat kebaikan, mengekspresikan sifat Jamâl atau kelembutan dan keindahan Tuhan. Perpaduan antara jalâl dan jamâl atau kekuatan dan kelembutan inilah yang melandasi irama dasar alam semesta. Dengan kata lain, tatanan alam semesta merupakan suatu gerak harmonis atau keseimbangan dinamis antara jalâl dan jamâl (kekuatan dan kelembutan).
Oleh karena itu, ketenangan dan kedamaian kosmis (alam) hanya dapat terwujud apabila jamâl dan jalâl atau kekuatan dan kelembutan di atas berjalan secara seimbang. Jika jalâl atau kekuatan dan gerak dinamis lebih dominan, maka yang akan muncul adalah kekerasan, permusuhan dan perang. Sebaliknya jika jamâl atau kelembutan lebih dominan, maka yang muncul adalah kelemahan moral yang jauh lebih berbahaya daripada kekerasan dan perang. Perpaduan antara jalâl dan jamâl (kekuatan dan kelembutan) merupakan jalan tengah yang terbaik bagi perwujudan suatu gerak kehidupan yang harmonis, keseimbangan, ketenangan serta kedamaian hubungan-hubungan sosial dan ekologis. Qur’an surat al-Baqarah [2]: 143 menyatakan:

“Dan demikian kami telah menjadikan kamu (ummat Islam) sebagai ummat penengah agar kamu menjadi saksi atas manusia”.

Menurut ayat di atas, ummat Islam adalah ummat penengah (moderat); yang dalam konteks ini, tidak lebih mengedepankan kekuatan (kekerasan dan perlawanan), dan juga tidak lebih mengedepankan kelembutan (diam dan bertahan), tetapi berada di tengah-tengah antara kekuatan dan kelembutan. Ada saatnya untuk menampilkan kekuatan dan ada saatnya pula untuk menampilkan kelembutan; tetapi itupun tidak harus dengan berlebihan. Sebab kekuatan yang berlebihan hanya akan mendatangkan kedzaliman dan ketidakadilan. Sebaliknya, kelembutan yang berlebihan hanya akan mematikan nurani dan mata hati sehingga tidak peka terhadap berbagai kedzaliman dan ketidakadilan yang berlangsung di depan mata. Bahkan terkadang mendukungnya (berkhotbah untuk menguatkan dan memberikan pembenaran) serta memolesnya dengan berbagai alasan yang terkadang juga atas nama agama atau ayat-ayat Tuhan supaya kedzaliman dan ketidakadilan yang berlangsung menjadi suatu kebaikan dan kebenaran.
Kekuatan memang harus ditampilkan agar da-pat menggentarkan dan disegani oleh musuh;

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”.[79]

Dalam ayat di atas, kekuatan bahkan tidak hanya sekedar harus ditampilkan, melainkan  juga harus dipersiapkan. Hal ini agar kita dapat membela diri jika perlakukan secara dzalim dan bukan untuk dipamerkan. Sebab balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, “wajazau sayyiatin sayyiatun mitsluhâ”.[80] Tetapi walau demikian, Al-Quran dalam ayat selanjutnya mengingatkan bahwa apabila mereka membuka pintu perdamaian, maka kita harus cenderung pada perdamainan.

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.[81] “Barangsiapa mema’afkan dan berbuat baik (damai), maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dzalim”.[82]

Ayat selanjutnya lebih menegaskan lagi bahwa orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tiada suatu dosa apapun atas mereka. Namun dosa tersebut ditanggung oleh orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia serta melampaui batas tanpa hak di muka bumi. Tetapi Al-Quran menggariskan bahwa sikap bersabar dan mema’afkan, merupakan sikap moral yang lebih diutamakan.[83]
Dengan demikian, perdamaian, sikap mema’afkan, berbuat baik dan sabar merupakan sikap keutamaan moral yang harus ditampilkan sebagai jalan tengah antara perang (kekuatan) dan diam terdzalimi (kelembutan). Al-Quran surat Ali Imran [3]: 159 lebih menjelaskan bahwa kekuatan (kasar dan keras hati) hanya akan menjauhkan mereka dari lingkungan sendiri dan karenanya sangat rentan terhadap timbulnya kembali kekerasan, permusuhan dan perang.
Meski diingat bahwa kebaikan bukanlah terletak pada jalâl (kekuatan) dan bukan pula pada jamâl (kelembutan), melainkan keseimbangan dinamis antara keduanya. Demikian pula keburukan adalah ketidakseimbangan antara keduanya. Keseimbangan dinamis artinya bahwa hubungan keduanya (kekuatan dan kelembutan) saling melengkapi sehingga luwes dan terbuka untuk perubahan.
Cenderung kepada kedamaian, sikap mema’afkan, memohonkan ampunan dan bermusyawarah untuk damai adalah keutamaan moral sebagai hasil keseimbangan dinamis antara kekuatan dan kelembutan.

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan (aspirasi atau pertemuan-pertemuan rahasia mereka); kecuali bisikan-bisikan orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah (mendermakan kekayaannya) atau berbuat ma’ruf dan mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami akan memberi kepadanya pahala yang besar”.[84]

Salam-salam (damai-damai) itulah yang juga digambarkan oleh Al-Quran berkenaan dengan kehidupan di surga.[85] Dan salam-salam inilah yang juga harus menjadi prinsip pemikiran dalam reformasi bumi sebagai tugas kekhalifan manusia yang harus termanifestasikan dalam kehidupan berkebudayaan. Allah a’lam



[1] QS. al-Baqarah [2]: 3; al-Maidah [5]: 94; al-Anbiya’ [21]: 49; Fathir [35]: 18; Yasin [36]: 11; Qaf [50]: al-Hadid [57]: 25; al-Mulk [67]: 12).
[2] QS. al-Baqarah [2]: 286.
[3] QS. al-Hadid [57]: 4
[4] QS. al-Baqarah [2]: 183
[5] QS. Qaf [50]: 16
[6] QS. al-Mujadilah [58]: 7
[7] Seperti QS. al-Qashash [28]: 88; al-Rahman [55]: 27; Shad [38]: 75; al-Fat-h [48]: 10; al-Hadid [57]: 29; al-Maidah [5]: 64 dan banyak ayat yang lainnya.
[8] Misalnya QS. Fushilat [41]: 21. Di antara âyat (indeks) Tuhan dalam alam adalah adanya malam, siang, matahari, bulan (QS. Fushilat [41]: 37), angin (QS. al-Rum [30]: 46), ketundukan bumi (QS. Fushilat [41]: 39), menciptakan langit dan bumi serta berkembangbiaknya binatang melata (QS. al-Syura [42]: 29). Dan banyak lagi ayat lainnya yang menunjukan penggambaran Tuhan melalui perbuatan-Nya pada alam.
[9] Dikutif dari Shaciko Murata, The Tao of Islam, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 32-33.
[10] Dalam Al-Quran, term asmâ’ al-husna disebutkan dalam empat tempat yaitu, QS. al-A’raf [7]: 180; al-Isra [17]: 110; Thaha [20]: 110; dan Al-Hasyr [59]: 24. Sementara  mengenai jumlahnya, para ulama berbeda pendapat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh para muhadditsin seperti Bukhari, Muslim, Imam Ahmad, Turmudzi dan yang lainnya dari Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah asma’ al-husna adalah 99. “Sesungguhnya Allah mempunyai 99 nama—seratus kurang satu—barangsiapa yang menjaganya dengan menghitung nama-nama itu, maka dia akan masuk surga”. “Sesungguhnya Allah itu ganjil dan menyukai yang ganjil”. Menurut Thabaththaba’i, asma’ al-husna berjumlah 127 nama, menurut  Ibnu Barjam al-Andalusi berjumlah 132 nama, sementara penemuan al-Qurthubi terhadap asma Allah al-husna yang disepakati dan diperselisihkan ulama, berjumlah sebanyak 200 nama lebih. Bahkan Ibnu Arabi seperti dikutif Ibnu Katsir, menghimpun nama-nama Tuhan dari Al-Quran dan al-Sunnah sebanyak 1000 nama. Lihat, M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Asma al-Husna dalam Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 1999), hal. Xlii.
[11] Al-Jurzani, Kitab Ta’rifât, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1988), hal. 34.
[12] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), hal. 40.
[13] QS. al-Hasyr [59]: 24.
[14] QS. al-Hijr [15]: 86.
[15] QS. Yasin [36]: 81.
[16] Tentang al-Rahmân al-Rahîm banyak sekali disebutkan dalam Al-Quran. Lihat, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Mu’zam Al-Mufahras Li Al-Fâdh al-Qur’ân al-Karim, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), hal. 389 dan seterusnya.
[17] QS. Hud [11]: 90; al-Buruj [85]: 14.
[18] QS. al-An’am [6]: 12 dan 54.
[19] QS. al-A’raf [7]: 156.
[20] Literatur lebih lanjut mengenai asma’ Allah al husna ini dapat dibaca antara lain, Al-Maqshâd al-Asna’ fi Syarh Ma’âni asmâ Allah al-Husna karya Abu Hamid Al-Ghazali yang telah diterjemahkan dalam edisi Indonesia dengan judul Al-Asma’ Al-Husna: Rahasia Nama-nama Indah Allah, (Bandung: Mizan, 1998); M. Qraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, op. cit.
[21] Seperti QS. al-Taubah [9]: 31; al-A’raf [7]: 190; Yunus [10]: 18; al-Nahl [16]: 1 dan 3; al-Mukminun [23]: 92; al-Qashash [28]: 68; al-Ankabut [20]: 40; al-Zumar [39]: 67; al-Thur [52]: 43 dan al-Hasyr [59]: 23.
[22] QS. al-Hasyr [59]: 23 dan al-Jum’ah [62]: 1
[23] QS. al-Ikhlas [112]: 1-4.
[24] QS. al-Isra [17]: 22 dan 39.
[25] QS. al-Hasyr [59]: 22-24; al-Baqarah [2]: 254-255; al-Naml [27]: 60-64; al-Nahl [16]: 51; Ali Imran [3]: 18; al-Isra [17]: 42.
[26] QS. al-Nahl [16]: 9.
[27] QS. al-A’la [87]: 1-2; al-Infithar [82]: 7 dan ayat lainnya.
[28]  QS. al-Mulk [67]: 3.
[29] QS. al-Dzariyat [51]: 47.
[30] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 66.
[31] Fushilat [41]: 19-12; al-Dukhan [44]: 38-39; Shad [38]: 27; al-Ahqaf [46]: 3; Ibrahim [14]: 19, 32-34; al-Hijr [15]: 85; al-Nahl [16]: 3; al-Anbiya’ [21]: 6, 22, 30-33.
[32] QS. Hud [11]: 7.
[33] QS. Ali Imran [3]: 83; al-Furqan [25]: 2.
[34] QS. al-Jatsiyah [45]: 12; Luqman [31]: 20; al-Hajj [22]: 65.
[35] QS. al-Mukminun [23]: 33.
[36] QS. al-Furqan [25]: 7 dan 20.
[37] QS. Ali Imran [3]: 47 ; Maryam [19]: 20.
[38] QS. al-Baqarah [2]: 187.
[39]  QS. Fushilat [41]: 6 ; al-Kahfi [18]: 110.
[40] QS. al-Furqan [25]: 7 dan 20.
[41] QS. al-Ahzab [33]: 72.
[42] QS. al-Baqarah [2]: 31-33.
[43] QS. al-‘Alaq [96]: 4-5.
[44] QS. al-Rahman [55]: 3. Al-bayân berasal dari akar kata bayana (b-y-n) yang dengan segala bentuk derivasinya menunjukan pengetian “menjelaskan”, “menerangkan” dan “mengungkapkan”. Menurut Bintusy Syathi’ al-bayân ini merupakan alat manusia dalam mengungkapkan isi hatinya, juga sebagai sarana mempraktekkan kemampuan berfikir dan belajarnya. Oleh karena itu, Al-Quran menempatkan “al-bayân” ini sebagai “daya” yang mempunyai peran otentik dalam proses pemanusiaan manusia. Lihat, ‘Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi’), Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Quran, terj. M. Adib Al-Arief, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), hal. 53-58.
[45] QS. al-Nisa’, [4]: 28.
[46] QS. Ibrahim [14]: 34; al-Isra [17]: 67; al-Hajj [22]: 66; al-Zukhruf [43]: 15.
[47] QS. Hud [11]: 9-10.
[48] QS. al-Nahl [16]: 4; Yasin [36]: 77.
[49] QS. al-Kahfi [18]: 54.
[50] QS. al-‘Adiyat [100]: 6.
[51] QS. al-‘Alaq [96]: 6.
[52] QS. al-Isra [17]: 11; al-Anbiya [21]: 37; al-Isra [17]: 100.
[53] QS. al-Isra [17]: 100.
[54] QS. al-Ma’arij [70]: 19.
[55] Baca, Jalaludin Rahamat, Konsep-konsep Antropologi, dalam Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam, op. cit., hal. 60-67.
[56] QS. As-Sajdah [32] : 9. Ayat lain yang senada di antaranya : Al-Hir [15] : 29; Shad [38] : 72; At-Tahrim [66] : 12
[57] Murtadha Muthahari, Masyarakat dan Sejarah, Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, terj. M. Hashem, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 18.
[58] QS. al-Thin [95]: 4.
[59] QS. a-Isra [17]: 70.
[60] QS. al-Hajj [22]: 46.
[61] QS. Yunus [10]: 12.
[62] QS. al-Ira’ [17]: 67, 11, 83; Hud [11]: 9-11; al-Zumar [39]: 8, 49 dan al-Syura’ [42]: 48.
[63] QS. al-Hasyr [59]: 19.
[64] QS. al-Balad [90]: 4, 5, 11, dan 12.
[65] QS. Alam Nasrah [94]: 5-6.
[66] QS. al-Layl [92]: 5-7.
[67] QS. al-Isra [17]: 7.
[68] Fazlur Rahman, Tema Pokok, op. cit., hal. 43.
[69] QS. al-Thalaq [65]: 2 dan 4.
[70] QS. al-Baqarah [2]: 30 .
[71] Musa Asy’ari, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Ummat, (Yogyakarta: Kerjasama LESFI, 1997), h. 70.
[72] QS. al-Anbiya [21]: 11.
[73] QS. al-A’raf [7]: 10 dan 85.
[74] Keputusan Musyawarah Nasional XXIII Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang Kebudayaan dan Kesenian dalam Perspektif Islam, 5-6 Juli 1995 di Banda Aceh.
[75] Nurcholish Madjid, Kalam Kekhalifahan dan Reformasi Bumi, dalam Mimbar Studi Islam, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Edisi 1 Th. XXII, Sep.-Des. 2000, hal. 29 dst.
[76] Ibid., hal. 29.
[77] QS. al-Baqarah [2]: 188.
[78] Akar kata ishlâh (reformasi) adalah shalaha (sh-l-h) diartikan juga sebagai kedamaian atau perdamaian. Oleh karena itu, Al-Quran berulang-ulang memberikan penegasan untuk menegakkan misi perdamaian di bumi, baik pada tingkat keluarga (al-Nisa’ [4]: 128) maupun pada tingkat sosial-kemasyarakatan (QS. al-Hujurat [49]: 9-10).
[79] QS. al-Anfal [8]: 60.
[80]  QS. al-Syura [42]: 40.
[81] QS. al-Anfal [8]: 61.
[82] QS. al-Syura [42]: 40.
[83] QS. al-Syura [42]: 41-43.
[84] QS. al-Nisa’, [4]: 114.
[85] QS. al-Waqi’ah [56]: 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar