Minggu, 12 Desember 2010

PELACAKAN ASAL-USUL (GENEALOGI) KEYAKINAN PRIMITIF

: Sebuah Kajian Memahami Tuhan dalam Sejarah Manusia


A. Prawacana: Alam dan Ambiguitas Karakteristik Manusia
            Keberadaan agama diyakini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Agama dalam keyakinan pemeluknya adalah sebuah keyakinan yang terpatri secara mendalam, meskipun tidak setiap individu yang hidup di muka bumi ini percaya terhadap agama, apapun bentuk, corak dan wujud dari agama itu. Keyakinan yang begitu kuat terhadap agama tercermin dalam segala aspek kehidupan para penganutnya. Agama diejawantahkan sebagai sekumpulan norma, ajaran dan etika yang akan membawa manusia mencapai titik keparipurnaan. Agama, yang merupakan sekumpulan sistem dan ajaran, adalah asas pokok yang mampu menggerakan dan memberi kekuatan bagi manusia untuk melakukan kreativitas-kreativitas unik-positif, sekaligus juga melakukan perbuatan-perbuatan destruktif-negatif. Hal ini bisa dibuktikan dari pelbagai tingkah laku manusia yang tidak bisa dilelepaskan dari keyakinan yang timbul atas pembacaan terhadap doktrin-doktrin agama.
Berbicara agama, berarti berbicara tentang sekumpulan norma dan aturan dalam agama itu sendiri. Norma dan aturan itu pula yang memberi keluasan bagi pemeluknya untuk terus-menerus melakukan usaha-usaha yang terarah sebagai wujud kongkret (baca: dalam konteks sosial secara luas) terhadap agama yang dipeluknya. Agama adalah segalanya. Dengan pengertian agama dianggap memberikan keyakinan dalam segala aktivitas penganutnya. Agama dalam nilai substansinya merupakan cara Tuhan untuk menempa sekaligus sebagai ‘sebuah kehendak Tuhan’ yang diturunkan ke bumi untuk ‘menyapa’, ‘merangkul’ dan membimbing manusia menuju ke arah yang ‘di inginkan’ oleh Tuhan dan membawa manusia dalam kehidupan yang paripurna secara duniawi-ukhrawi baik fisik-indrawi (basyar)[1] maupun mental-psikologis (insân)[2] karekteristik manusia yang ambigu. Keambiguan ini telah menggiring manusia menjadi mahluk yang terpolarisasi dengan kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan yang tidak jarang melupakan fungsi, nilai dan arti kehadirannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dalam rangka menjelaskan keambiguan manusia, kiranya paparan al-Qur`ân tentang hal patut untuk dikemukakan. Ada tiga kata (istilah) yang digunakan al-Qur`ân untuk menunjuk kepada konsep manusia, yaitu:
  1. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin semacam insân, ins, atau unas.
  2. Menggunakan kata basyar.
  3. Menggunakan kata Bani Adam, dan dzuriyat Adam.
            Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti ‘penampakan sesuatu dengan baik dan indah’. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti ‘kulit’. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. Al-Qur`ân menggunakan kata basyar ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsannâ (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad saw, diperintahkan untuk menyampaikan bahwa beliau adalah manusia (basyar) yang diberi wahyu.[3] Dari sisi lain, jika diamati banyak ayat-ayat al-Qur`ân yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia (sebagai basyar), melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.[4]
Bertebaran, seperti dalam Q.S. Ar-Rûm: 20, bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezeki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu pula Maryam a.s. mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak, padahal dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang mampu berhubungan seks).[5] Kata basyarihunna yang digunakan oleh al-Qur`ân sebanyak dua kali[6] juga diartikan dengan hubungan seks. Dalam kondisi itulah terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Dan karena itu pula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar.[7] yang satu, Q.S. Al-Hijr: 28 menggunakan kata basyar dan Q.S. Al-Baqarah: 30 menggunakan kata khalifah, keduanya mengandung pemberitaan Allâh kepada malaikat tentang manusia.
Basyar yang dalam al-Qur`ân disebut sebanyak 27 kali,[8] memberikan referensi pada manusia sebagai mahluk biologis.[9] Sebagai mahluk biologis, manusia dapat dilihat dari perkataan Maryam kepada Allâh,[10] Nabi Muhammmad Saw disuruh Allâh menegaskan bahwa secara biologis, ia seperti manusia lain,[11] Orang-orang yang menentang Nabi atau orang kafir yang menyatakan bahwa seorang nabi dan rasul adalah manusia (basyar).[12] Demikian juga pernyataan kekaguman para istri pembesar kerajaan Mesir ketika melihat ketampanan Yûsuf a.s.[13] Konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia, seperti makan, minum, seks dan berjalan di pasar.
            Adapun kata insân terambil dari kata uns dilihat dari derivasinya mengambil beberapa pengertian. Pertama, anasa yang berarti ‘melihat’, ‘mengetahui’ dan ‘meminta izin’. Makna ini menunjuk pada kemampuan manusia sebagai mahluk yang memiliki nalar dan beradab. Kedua, nasiya yang berarti ‘lupa’. Makna ini menunjuk pada manusia sebagai mahluk yang memiliki kesadaran. Ketiga, al-uns yang berarti ‘jinak’, ‘harmonis’ dan ‘tampak’.[14] Pendapat di atas, jika ditinjau dari sudut pandang al-Qur`ân, lebih tepat yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa) atau nasâ-yanûsu (berguncang). Kitab Suci al-Qur`ân, seperti tulis Bint al-Syâthî` dalam al-Qur`ân wa Qadhâyâ al-Insân, seringkali memperhadapkan insân dengan jin/jan. Jin adalah mahluk halus yang tidak tampak, sedangkan manusia adalah mahluk yang nyata lagi ramah. Kata insân, digunakan al-Qur`ân untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan. Artikel Jalaluddin Rakhmat yang berjudul “Konsep-Konsep Antropologis”, mengatakan bahwa dalam al-Qur`ân terdapat tiga istilah kunci yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu basyar, insân dan al-nâs.
Kata insân yang dalam al-Qur`ân disebut sebanyak 65 kali,[15] dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok. Pertama, insân yang dihubungkan dengan konsep manusia sabagai khalifah atau pemikul amanah. Kedua, insân dihubungkan dengan predisposisi negatif manusia. Ketiga, insân dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks insân menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau sprtitual. Pada kategori pertama, manusia digambarkan sebagai wujud mahluk istimewa yang berbeda dengan hewan. Oleh karena itu, dalam al-Qur`ân dikatakan bahwa insân adalah mahluk yang diberi ilmu,[16] mahluk yang diberi kemampuan untuk mengembangkan ilmu dan daya nalarnya dengan nazhar (merenungkan, memikirkan, menganalisa, dan mengamati) perbuatannya.[17] Proses terbentuknya makanan dari air hujan hingga terbentuknya buah-buahan dikaitkan dengan penyebutan insân.[18] Dalam hubungan inilah, Tuhan menjelaskan sifat insân yang tidak stabil.[19] Selanjutnya manusia dikatakan sebagai mahluk yang memikul amanah.[20] Karena manusia adalah mahluk yang menanggung amanah, maka insân dalam al-Qur`ân dihubungkan dengan konsep tanggung jawab.[21] Ia (insân) diberi keharusan berbuat baik,[22] amalnya dicatat dengan cermat untuk diberi balasan sesuai dengan kerjanya.[23] Oleh karena itu, insân-lah yang dimusuhi oleh setan.[24]
            Dalam menyembah Allâh, insân sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Apabila ditimpa musibah, insân cenderung menyembah Allâh dengan ikhlas, sedangkan apabila mendapat keberuntungan, insân cenderung sombong, takabur, dan bahkan musyrik.[25] Dalam kategori yang kedua, insân dihubungkan dengan predisposisi negatif manusia. Menurut al-Qur`ân, manusia cenderung zalim dan kafir,[26] tergesa-gesa,[27] bakhil,[28] bodoh,[29] banyak membantah dan mendebat,[30] gelisah dan enggan membantu,[31] ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita,[32] tidak berterima kasih,[33] berbuat dosa,[34] dan meragukan hari Kiamat.[35] Apabila dihubungkan dengan kategori pertama, sebagai mahluk spritual, insân menjadi mahluk paradoksal yang berjuang menghadapi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan, yaitu kekuatan mengikuti fitrah (memikul amanat Allâh) dan kekuatan mengikuti predisposisi negatif. Kedua kekuatan ini digambarkan dalam kategori yang ketiga. Kategori yang ketiga adalah insân dihubungkan dengan proses penciptaannya. Sebagai insân, manusia diciptakan dari tanah liat, saripati tanah, dan tanah[36]. Demikian juga basyar berasal dari tanah liat, tanah,[37] dan air.[38] Hal ini mendorong Jalaluddin Rakhmat untuk berkesimpulan bahwa proses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis karakteristik basyari dan karakteristik insani. Yang pertama, unsur material, dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur basyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung dalam keseimbangan, tidak boleh mengurangi hak yang satu atau melebihkan hak yang lainnya.
            Konsep kunci yang ketiga adalah al-nâs yang mengacu pada manusia sebagai mahluk sosial. Ia disebut dalam al-Qur`ân sebanyak 241 kali.[39] Sebagai mahluk sosial, al-nâs dapat kita lihat dalam beberapa segi. Pertama, banyak ayat yang menunjukkan kelompok sosial dengan karakteristiknya. Ayat-ayat ini lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min al-nâs (dan diantara sebagian manusia). Dengan memperhatikan ungkapan tersebut, dalam al-Qur`ân ditemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman tetapi sebetulnya tidak beriman,[40] yang mengambil sekutu terhadap Allâh,[41] yang hanya memikirkan kehidupan dunia,[42] yang mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia tetapi memusuhi kebenaran,[43] yang berdebat dengan Allâh tanpa ilmu dan petunjuk dalam al-Kitâb,[44] yang menyembah Allâh dengan iman yang lemah,[45] yang menjual pembicaraan yang menyesatkan,[46] meskipun ada sebagian orang yang rela mengorbankan dirnya untuk mencari keridhaan Allâh.
            Kedua, dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-nâs, Jalaluddin Rakhmat menyimpulkan bahwa sebagian besar manusia mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu maupun iman. Menurut al-Qur`ân, sebagian manusia tidak berilmu,[47] tidak bersyukur,[48] tidak beriman,[49] fasiq,[50] melalaikan ayat-ayat Allâh,[51] kafir,[52] dan kebanyakan harus menanggung azab.[53] Ayat-ayat ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok manusia yang beriman,[54] yang berilmu atau yang dapat mengambil pelajaran,[55] yang bersyukur,[56] yang selamat dari siksa Allâh,[57] dan yang tidak diperdayakan setan.[58] Ketiga, al-Qur`ân menegaskan bahwa petunjuk al-Qur`ân bukan hanya dimaksudkan kepada manusia sebagai perorangan, tetapi juga manusia secara sosial. Konsep manusia yng dinyatakan dengan al-nâs sering dihubungkan dengan petunjuk atau al-Kitâb.[59]
            Setelah uraian yang cukup panjang untuk ukuran sebuah artikel, Jalaluddin Rakhmat menjelaskan bahwa manusia dalam artian basyar berkaitan dengan unsur material dimana dalam konteks ini manusia sepadan dengan matahari, hewan, dan tumbuhan. Dengan sendirinya, ia musayyar (tunduk kepada takdir Allâh). Sedangkan manusia dalam artian insân dan al-nâs, bertalian dengan unsur hembusan Ilahi. Ia dikenai aturan-aturan tetapi diberikan kekuatan untuk tunduk dan melepaskan diri darinya, dengan sendirinya ia mukkhayyar (diberi kebebasan dalam memilih). Selanjutnya, Jalaluddin Rakhmat menjelaskan dua komponen yang membedakan hakikat manusia dengan hewan, yaitu potensi untuk mengembangkan iman dan potensi untuk mengembangkan ilmu. Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut amal shaleh. Oleh karena itu, Jalaluddin Rakhmat berkesimpulan bahwa iman dan ilmu adalah dasar yang membedakan manusia dari mahluk lainnya. Meskipun demikian, dalam al-Qur`ân sudah digariskan bahwa jumlah manusia yang mampu mengembangkan iman dan ilmu sekaligus sangatlah sedikit.
            Singkatnya, kedudukan manusia adalah sebagai mahluk individu dan mahluk spiritual, di satu sisi dan sebagai mahluk biologis dan mahluk psikologis (spiritual), di sisi yang lain. Manusia adalah gabungan antar unsur material (basyar) dan unsur rohani (insân dan al-nâs). Dari segi hubungannya dengan Tuhan, kedudukan manusia adalah sebagai hamba (mahluk) dan kedudukan manusia dalam konteks mahluk Tuhan adalah mahluk yang terbaik[60] (fî ahsan taqwîm).[61]
Pergulatan manusia dalam memahami konsep-konsep agama telah memakan rentangan sejarah yang panjang, dimana keberadaan realitas dan harapan idealitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka mengapai hakikat agama. Dalam historitas tersebut, tak jarang klaim-klaim kebenaran (truth claims) sepihak ikut mewarnai dan atau mendominasi perjalanan manusia dalam rangka memahami komplektisitas agama. Manusia adalah mahluk Tuhan yang serba unik. Dalam proses pengembaraannya menuju kedewasaan yang paripurna, manusia harus melalui fase-fase tertentu yang menjadi dasar pembentukan kepribadiannya, tanpa itu manusia tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai abdi Allâh SWT dan khalifah yang bertugas untuk memakmurkan di muka bumi juga sebagai mahluk sosial antar sesama manusia sehingga bisa mengembangkan konsep ta’arruf, tarâhim, dan tahabbub secara kontinyu. Sehingga manusia tidak hanya berhubungan dengan Tuhannya secara vertikal dan transenden, tetapi juga harus bisa mengembangkan hubungan secara horizontal (konsep hablun min Allâh dan hablun min an-nâs). Meskipun pada dasarnya manusia selalu dilingkupi oleh permasalahan yang multi kompleks, selalu berkecenderungan berbuat fasad (keruksakan di muka bumi), dan saling mendzalimi sesama manusia tetapi manusia selalu berusaha untuk terlepas dari semua itu dengan berbagai cara, termasuk secara beragama.
            Dalam hal beragama manusia dijadikan objek dan subjek dari keberadaannya secara nisbi atau relatif dari kehendak dan keadilan Tuhan. Konsep agama, untuk membawa manusia selalu dalam koridor kebenaran secara hakiki, akan terus dipandang sebagai sesuatu yang akan dipertahankan secara permanen, meskipun banyak manusia yang meragukan akan kebenaran agama karena ada hal-hal tertentu dari petunjuk agama yang dalam kacamata manusia dinilai terlalu aneh, jelimet dan serba tidak logis. Dalam rentang waktu yang panjang dan, pola pikir manusia berkembang, seiring dengan kemampuannya dalam mengaktualisasikan nilai-nilai universal yang ditangkapnya kemudian dirumuskan dalam konsep-konsep abstrak dan kongkret dalam ranah kehidupan. Berawal dari kesadaran manusia yang merasakan kegundahan dan kegelisahan dalam kehidupannya, maka manusia melakukan ritualisasi-ritualisasi tertentu untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman. Ritualisasi yang dilakukan oleh manusia pada mulanya bersifat lokal dan berbeda satu sama lainnya karena tiap manusia memiliki konsep yang berbeda. Namun, terdapat satu alur kesamaan dimana konsep ritualisasi tersebut diarahkan kepada penyembahan atas Yang Kudus (The Sacred). Kemudian, ritualisasi tersebut berkembang dan mendapatkan sistematisasi detailnya dengan mengikuti perkembangan pola pikir serta daya imajinasi manusia yang semakin mapan dan modern.
Kondisi keberadaan manusia, sebagai penganut agama-agama yang ada, disertai dengan beragam aktivitas dan rutinitasnya, telah mampu memaknai agama dengan begitu luar biasa. Sejarah mencatat, dengan berbagai kreativitasnya, manusia telah membawa posisi agama dalam satu titik yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kita dapat menyaksikan dengan kasat mata, bahwa pemaknaan terhadap agama dalam skala makro, mampu membangun peradaban-peradaban yang begitu gemilang. Islam, misalnya, dengan ajaran dan sistemnya telah berhasil membuktikan suatu perkembangan yang sangat mencengangkan peradaban lainnya. Hanya saja dengan kecenderungan pergeseran dalam memaknai kehadiran agama dirasakan sangat singnifikan dalam kurun waktu akhir-akhir ini. Adanya pemaknaan agama secara litelaris dan substansialis, fundamentalis dan liberalis, menjadi bukti yang tak terbantahkan dari fenomena kehadiran agama. Agama dalam ranah kemanusian dianggap sebagai sebuah kumpulan ajaran, norma dan sistem yang telah berhasil menghasilkan pelbagai pemikiran yang sangat aktraktif.
            Dalam bingkai agama, klaim-klaim ‘penyelamatan’, ‘pemberian pahala’ dan ‘surga-neraka’, ditujukan sebagai tindakan yang eksklusif. Dikatakan eksklusif, karena masing-masing agama berkeinginan untuk memiliki ciri dan corak yang berbeda dengan agama yang lain, serta untuk menandaskan adanya aspek-aspek khusus dalam agama-agama tersebut. Klaim-klaim seperti ini adalah wajar, selama upaya-upaya kerjasama dan dialog tetap bisa dilaksanakan secara maksimal. Memang, dialog dan kerjasama bukan menjadi tolak ukur utama dalam upaya untuk melakukan pembinaan dan pemahaman adanya pluralitas pemahamaan keagamaan. Tetapi, dengan adanya kerjasama dan dialog yang dibangun secara sinergis, minimal akan menghasilan arahan yang positif dalam rangka menghargai toleransi antar agama serta menghormati perbedaan keimanan.
            Sesuai dengan banyaknya dimensi kehidupan yang menjadi garapan dan lahan objek manusia, maka ranah kehidupan manusia pun terpolarisasi lebih parsialistik dalam ruang-ruang publik yang lebih mengedepankan realisasi dan aktualisasi kemampuan manusia, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan agama sekalipun. Dalam posisi yang seperti itu, di satu sisi, manusia selalu berhadapan dengan kenyataan-kenyataan antara tuntutan idealitas kebenaran yang abstrak dengan, di sisi lain, realitas situasi dan kondisi yang memerlukan pengembangan atas pemahaman kebenaran yang abstrak tersebut. Hal inilah mungkin yang menjadikan keberadaan agama menjadi sesuatu yang ‘sangat tumpul’ dalam menyeimbangkan pola pikir manusia yang telah termodernkan. Sains dan teknologi telah menjadi kandidat saingan yang ‘seimbang’ bagi agama dalam mengantarkan manusia memahami nilai-nilai ketransedentalan. Wilayah Tuhan pun dalam aspek-aspek tertentu telah dikebiri oleh kemampuan manusia yang menghasilkan kenikmatan-kenikmatan semu hasil rekayasa manusia itu sendiri.

B. Genealogi Keyakinan: Yang Kudus (The Sacred) dalam Perspektif Manusia Primitif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah genealogi didefinisikan dalam dua arti. Pertama, garis kerturunan manusia di hubungan keluarga sedarah dan kedua, garis pertumbuhan binatang (tumbuhan, bahasa, dsb) dari bentuk-bentuk sebelumnya. Selain itu terdapat pula istilah genealogis, yang berarti sesuatu yang bersangkutan dengan genealogi.[62] Istilah genealogi juga bisa didefinisikan baik dalam artian konvensional maupun artian Foucauldian. Mengikuti studi-studi sejarah dan antropologi tradisional, genealogi bisa didefinisikan sebagai studi mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompok orang sepanjang beberapa generasi. Konsep genealogi ini berguna untuk memerhatikan gerak perkembangan diakronik dari rantai intelektual antar generasi. Dalam arti Foucauldian, genealogi merupakan sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concerns) masa kini. Dalam pandangan Foucault, sejarah selalu ditulis dari perspektif masa kini. Sejarah merupakan pemenuhan atas sebuah kebutuhan masa kini. Fakta bahwa masa kini selalu berada dalam sebuah proses transformasi yang mengandung implikasi bahwa masa lalu haruslah terus-menerus dievaluasi ulang. Dalam artian ini, genealogi tak berpretensi untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tak terputus. Justru sebaliknya genealogi berusaha mengidentifikasikan hal-hal yang menyempal (accidents), mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan yang kecil (the minute deviations). Genealogi memfokuskan pada retakan-retakan, pada kondisi-kondisi sinkronik dan pada tumpang tindihnya pengetahuan yang bersifat akademis dalam kenangan-kenangan yang bersifat lokal. Genealogi dalam artian ini berguna untuk memperhatikan dinamika, transformasi dan diskonuitas dalam gerak perkembangan historis.[63]
Jika pengertian genealogi ini ditarik dalam pembahasan agama, maka dapatlah didefinisikan sebagai usaha-usaha peneropongan dan pembacaan terhadap kemunculan agama pada masa awal dengan memfokuskan pada pencarian dan penyelidikan tentang sumber-sumber agama, deviasi agama dan perkembangan agama. Hal ini tentu membutuhkan silang referensi (cross check) sehingga akan menghasilkan suatu pembacaan yang relatif obyektif tanpa berpretensi untuk melakukan praduga-praduga yang tidak ilmiah. Perbincangan tentang asal-usul agama (genealogi) memang akan terus menggelinding dalam konstelasi pemikiran. Kiranya tidak berlebihan jikalau dikatakan bahwa pembahasan-pembahasan yang telah ada atau studi-studi tentang agama, baik ilmiah atau non-ilmiah, dapat dijadikan parameter betapa urgen dan menariknya pembahasan tentang kemunculan agama.
Dalam historisitasnya, keyakinan manusia terhadap hal-hal yang bersifat gaib, sakral, untouchable dan Yang Kudus (The Sacred) dapat dilacak sampai pada peradaban manusia primitif. Dalam peradaban primitif, keyakinan atas konsep-konsep yang supranatural merupakan bagian dari kehidupannya. Meskipun keyakinan yang dibangun masih bersifat sederhana sesuai dengan kesederhanaan pola pikir yang mereka miliki. Manusia primitif dengan rasionalisasinya mempercayai kekuatan-kekuatan alam akan sanggup memberikan kesejahteraan dan ketenangan sekaligus diyakini selalu bersama mereka dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan. Kekuatan petir, sinar matahari, pohon-pohon raksasa sampai binatang yang dianggap memiliki kemampuan magis dipercayai merupakan gambaran akan keberadaan Yang Kudus (The Sacred). Intinya, sejak mula pertama umat manusia sudah mampu untuk menangkap tentang adanya suatu kekuatan yang mengatasi dan maha kuasa, yang diyakininya telah menciptakan dan menguasai kehidupan manusia. Ini artinya bahwa pengetahuan tentang adanya satu Tuhan telah secara sadar dimiliki oleh setiap orang. Kesadaran ini merupakan komponen yang esensial dari seluruh masyarakat tradisional dari segala tingkatan.[64]
Pola kehidupan manusia primitif pada kurun antara Adâm dan Nûh, baik yang berupa mata pencaharian, sumber makanan, tempat tinggal dan perilaku, masih mirip dengan pola kehidupan hewan (al-mamlakah al-hayawâniyyah). Pada tahap ini, di seluruh penjuru dunia, perilaku manusia masih bersifat homogen (muhahhadan).[65] Dalam konteks ini belum dikenal alat-alat produksi. Mata pencaharian mereka adalah berburu, sedangkan tempat tinggal mereka adalah hutan dan gua-gua. Ekspedisi-ekspedisi pada masa ini ditempuh dengan jalan kaki, karena hewan-hewan yang berfungsi transnsportasi pada masa ini belum dapat ditundukkan. Namun, pada tahap ini sudah ditemukan api (iktisyâf an-nâr).[66]
Pada awal keberadaannya, manusia primitif hidup dan berkembang berdasarkan naluri (insting). Dalam pola sosial yang dibentuknya pun, manusia primitif hanya bergantung dengan kondisi dan situasi alam yang berada di sekitarnya. Bentuk-bentuk peradaban yang dihasilkannya pun masih sangat sederhana sekali, dimana sumber dan bahan utamanya diolah dan diciptakan dari sumber-sumber yang disediakan oleh alam. Pada fase ini manusia menggantungkan segala sesuatunya kepada alam. Artinya, manusia masih menganggap bahwa alam adalah sebuah kekuatan yang sulit untuk ditaklukan, alam adalah fenomena yang penuh dengan misteri. Posisi manusia yang hidup pada masa ini berada dalam posisi yang pasif, yang hanya mengandalkan akan kemurahan dari alam. Singkatnya, manusia pada zaman ini adalah manusia yang sangat terpengaruh dan dikuasai oleh alam.
Kondisi di atas, secara rasional bisa dipahami. Manusia primitif adalah manusia yang sangat terbatas dalam melakukan sosialisasi, akomodasi, dan transformasi diantara mereka. Akal pikiran yang mereka punyai masih terbatas hanya sekedar upaya untuk melakukan pemahaman atas alam di sekitarnya. Aturan-aturan yang berlaku pada manusia primitif bukan bersifat aturan samawi (agama), tetapi berupa ultimatum (peringatan) yang dibawa para malaikat yang menjelma sebagai seorang pribadi. Ultimatum itu hanya berfungsi sebagai tanda eksisitensi (wujud) Tuhan dan media untuk memperkenalkan-Nya (ta’arruf), tanpa disertai aturan-aturan yang lain.[67] Alam, bagi manusia primitif adalah tempat yang memiliki pesona magis. Kemagisan alam ini kemudian menjadikan mereka percaya akan kekuatan benda-benda tertentu (takhayul). Semakin lama mereka mengamati fenomena alam yang berada di sekelilingnya, mereka semakin terbius akan kekuatan-kekuatan yang dilahirkan oleh alam. Lambat laun kepercayaan mereka terhadap benda-benda dan kekuatan-kekuatan alam itu menggiring mereka untuk melakukan pemujaan-pemujaan tertentu sebagai implikasi keyakinan mereka yang mengantarkan kepada situasi religius.
Semangat manusia primitif terhadap keyakinan Yang Kudus (The Sacred) ini akhirnya diejawantahkan dalam bentuk coretan atau lukisan yang menyimbolkan cara-cara ritualisasi kepada Yang Kudus (The Sacred). Manusia primitif meletakan coretan dan lukisan itu dalam gua-gua tertentu yang, sekaligus, dijadikan tempat tinggal sementara (nomaden), batu-batu besar atau tempat-tempat yang dianggap suci. Kadangkala ritual yang mereka lakukan merupakan sesuatu yang absurd bagi manusia modern hari ini. Tetapi, jika kita telaah secara filosofis, keyakinan dan ritual yang mereka lakukan mengajarkan aspek-aspek positif yang jarang kita temui dalam konteks manusia modern. Manusia primitif adalah mnusia yang menekankan penghormatan kepada alam yang mereka diami, mulai dari bercocok tanam, upaya pelestarian alam sampai perlakuan kepada Yang Kudus (The Sacred) sekalipun tidak lepas dari penghormatan sekaligus ungkapan terimakasih kepada alam yang telah memberikan segalanya.
Rudolf Otto, meyakini bahwa perasaan-perasaan yang disebutnya ‘numinous’ itu adalah dasar setiap agama. Yang dimaksud dengan ‘numinous’ adalah perasaan dan keyakinan seseorang terhadap adanya Yang Maha Kuasa yang lebih besar dan tinggi yang tidak bisa dijangkau dan dikuasai manusia. Kekuatan ‘numinous’ ini kemudian diyakini oleh umat manusia dengan berbagai macam dan berbeda-beda. Kadang-kadang Ia diinspirasikan dengan suatu kebuasaan yang menyeramkan dan menakutkan, kadang-kadang dengan suatu ketenangan yang dalam dan menyejukkan dan kadang-kadang pula dengan suatu kekuatan yang misterius.[68]
Meskipun demikian, manusia primitif telah memiliki konsep tentang adanya kekuatan dahsyat yang mengelilingi kehidupan mereka. Konsep yang mereka miliki, memang belum mencapai sebuah konsep yang sempurna seperti agama-agama yang ada pada hari ini. Tetapi, mereka telah memiliki dan menganut kepercayaan akan adanya tuhan. Tuhan, dalam konsep bangsa primitif adalah hasil pergulatan mereka dengan kepercayaan terhadap benda-benda yang dipercayai memiliki daya magis tertentu, yang pada akhirnya melahirkan cerita-cerita simbolis, lukisan-lukisan dan ukiran-ukiran goa yang mencoba menceritakan keajaiban-keajaiban dan menghubungkannya dengan misteri-misteri yang tidak dapat ditembus dengan kehidupan yang mereka jalani.
Menarik apabila kita mengambil sampel kereligiusan bangsa primitif, seperti yang diungkapkan oleh Mariasusai Dhavamony[69], ketika membicarakan konsep Yang Kudus (The Sacred):

Menganyam tikar-tikar yang suci adalah suatu ritus yang penting. Para perempuan itu harus mengarahkan punggung mereka ke pantai, bukan ke danau. Alasannya, kalau mereka mengarahkan punggung ke danau maka mereka tidak menunjukkan hormat kepada daerah suci Uta, yang terletak di seberangnya… ketika mulai menganyam benar-benar, peraturan untuk diam di jalankan: perempuan-perempuan itu tidak boleh bicara satu sama lain, kaum laki-laki juga tidak boleh berbicara kepada mereka. Semua percakapan biasa dilarang. Para pekerja itu tidak boleh didekati oleh orang lain. Seorang anak, cucu dari kepala suku, ketika akan menyebrangi 'marae' (daerah terbuka yang digunakan untuk upacara religius) diminta untuk pergi ke pedalaman, oleh penjaga, dan tidak boleh mendekati para perempuan itu.”

Menganyam tikar adalah kegiatan biasa, sebuah kegiatan profan, tidak memerlukan perhatian istimewa dan biasanya dilaksanakan tanpa dibarengi larangan khusus. Namun, kegiatan ini bukanlah sebuah kebetulan sebab merupakan kegiatan dari sebuah uapacara ritual. Tikar-tikar itu dimaksudkan sebagai perlengkapan kuil untuk menghormati dewa-dewa. Hal-hal luar yang memberi ciri Yang Kudus (The Sacred) dan membedakannya dari yang profan, seperti diam, sikap khusus, pengasingan dari kegiatan-kegiatan lain yang tidak suci, tuntutan menyelesaikan meskipun hujan, dsb, adalah simbol-simbol dari kegiatan tersebut. Meskipun upaca ritual itu sendiri tidak melibatkan suatu komunikasi langsung dengan dewa-dewa namun upacara ini tetap berhubungan dengan Yang Kudus (The Sacred) karena menghindari segala campur tangan yang profan terhadap Yang Kudus (The Sacred).
Hal-hal yang tetap dalam fenomena religius, meskipun bisa bervariasi, adalah pertalian makna yang khusus yang disebut religius atau suatu hubungan dengan dewa-dewa, roh-roh, benda-benda suci dengan Yang Kudus (The Sacred) secara umum. Suatu objek, pengalaman dan fenomena yang semula profan akan menjadi suci apabila ada hubungan khusus yang dilaksanakan oleh sekelompok orang atau anggota masyarakat terhadap objek, pengalaman dan fenomena tersebut.[70] Dalam masyarakat tradisional di atas, tuhan tidak selesai sebagai sesuatu yang hanya harus disembah, melainkan juga harus menjadi contoh bagi segala aktivitas umat manusia di bumi profan ini. Dengan demikian segala sesuatu di bumi ini diyakini sebagai tiruan dari kesucian dunia tuhan. Inilah yang kemudian melahirkan persepsi yang membentuk mitos, ritual dan organisasi sosial dari banyak kebudayaan kuno dan terus-menerus memberikan pengaruh kepada masyarakat tradisional di masa itu.[71]
Secara singkat, ada beberapa hal yang bisa dijelaskan tentang konsep tuhan pada manusia primitif, yaitu:
  1. Tuhan merupakan misteri, Yang Tunggal melampaui segala syukur, yang tidak dapat dijelaskan. Artinya, bahwa pujian terhadap tuhan yang melampaui segenap syukur mengandung pengertian bahwa Dia tidak dapat dipuaskan dengan puji dan syukur, karena Ia mengatasi semuanya.
  2. Kekuatan tuhan tampak di alam, bukan hanya karena tuhan menciptakan dunia sejak awal mula, tetapi juga karena Ia hadir dalam badai dan dalam semua musim.
  3. Nama-nama dan gelar tuhan yang biasa digunakan juga menunjukkan bahwa Ia adalah pembentuk tubuh manusia dan pemberi nafas hidup.
  4. Tuhan adalah pemberi aturan moral dan hakim atas tindakan-tindakan manusia.
  5. Tuhan sebagai bulan dan matahari.[72]
Dalam urusan-urusan keluarga, karena belum ada aturan-aturan, merupakan kombinasi antara pola kehidupan hewan dan manusia, khususnya pola hierarki-vertikal dalam keluarga. Artinya, bahwa kelurga hanya berpijak pada asas-asas dan pola kehidupan hewan semata, sedangkan posisi ibu lebih berperan sebagai pengatur keluarga (ribat al-usrah) karena ibulah yang paling mengetahui anak-anaknya.[73]
Perkembangan selanjutnya yang terjadi pada manusia primitif adalah kemunculan mitos-mitos yang mempercayai penguasa-penguasa tertentu dengan penamaan tertentu pula. Inilah mungkin penyebab kemunculan penyebutan dewa-dewi sebagai penguasa yang dianggap memiliki kekuatan supranatural sekaligus sebagai pusat penyembahan. Konsep kepercayaan ini mendpatkan basis mitosnya, mngkin, dari mitologi Yunani Kuno, dimana masyarakat yang hidup pada waktu itu memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewi, misalnya dewa Zeus, dewi Aphrodite, dewi Venus dan lain sebagainya. Pemunculan mitos-mitos yang disertai dengan nama-nama tertentu merupakan rasionalisasi dari kehidupan sekitar mereka, dimana mereka meyakini bahwa di sekitar manusia terdapat kekuatan-kekuatan, seperti tanah, udara, api dan air yang memberikan konsekwensi-konsekwensi tertentu pula. Oleh karena itu, masyarakat pada waktu itu memberikan nama kepada kekuatan-kekuatan tersebut sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan terimakasih atas kebaikan yang diberikannya.
Pada masyarakat seperti ini sistem kepercayaan telah mengalami perubahan, baik sinkronik maupun diakronik, sebagai akibat dari berkembangnya pola pikir manusia dalam melihat realitas kehidupan yang dijalaninya. Ritual-ritual keagamaan yang dilakukan lebih tersistematisasi karena mereka mulai bisa ‘menangkap’ gejala-gejala dan merasakan Yang Kudus (The Sacred) secara lebih kongkret. Misalnya, pada masa primitif di daerah tertentu di Indonesia, dikenal kepercayaan dan pemujaan terhadap dewi Sri. Masyarakat primitif pada masa itu mempercayai bahwa dewi Sri adalah representasi dari kekuatan yang memberikan kesuburan pada tanaman padi. Ketika musim panen tiba dan hasilnya melimpah, maka serta merta mereka akan melakukan upacara dan ritual tertentu sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan terimakasih kepada dewi Sri.
Konsep dewa-dewi bukan hanya dijadikan sebagai pemilik/penguasa kekuatan alam tertentu, tetapi juga merupakan representasi dari karekteristik manusia yang mempercayainya. Semakin tinggi kadar keimanan terhadapnya, maka semakin pasrahlah dia dalam mempercayai dewa-dewi tersebut. Lebih lanjut, bila kita melihat perkembangan kepercayaan manusia primitif, mulai dari gejala alam sampai dewa-dewi tertentu, menunjukkan adanya penghormatan sekaligus aksi-aksi yang bersifat kearifan lokal atau adanya penyembahan kepada tuhan lokal dimana manusia primitif tinggal. Dinamakan kearifan lokal karena sistem dan konsep keyakinan msyarakat tersebut bersifat timbal balik (feed back) hanya dengan kawasan dimana mereka tinggal, sedangkan disebut tuhan lokal karena tuhan yang diyakini diberi identitas dengan penamaan tertentu dan dihubungkan dengan kekuatan-kekutan magis tertentu atau disesuaikan dengan hasrat dan keinginan masyarakat setempat sekalipun secara substanstif memiliki konsep yang sama dengan masyarakat primitif lain meskipun, besar kemungkinan, satu tuhan dengan tuhan yang lain dicitrakan berbeda.
Dari hasil penelitian Antropologi, muncul satu teori bahwa kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah bentuk agama tertua, seperti yang ditemukan oleh Andrew Lang di kalangan penduduk asli Australia. Mereka itu tidak memuja roh atau dewa-dewa, melainkan percaya kepada Tuhan sebagai Wujud Tertingi. Penemuan empiris ini didukung oleh penemuan P. Wilhelm Schmidt SVD yang berkesimpulan bahwa, pada semua bangsa dan suku bangsa yang masih sederhana di manapun dapat ditemukan kepercayaan kepada Tuhan, sebagai Wujud tertinggi, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa monoteisme adalah bentuk agama tertua dan bersifat universal. Paul Radin juga menemukan adanya kecenderungan (hanif) monoteistis pada suku-suku bangsa primitif di Australia, Amerika dan Indonesia.[74]
Bila kita menyetujui pendapat para antropolog di atas, maka dapat kita katakan bahwa penyimpangan monoteisme terjadi ketika masyarakat primitif yang awalnya memahami Yang Kudus (The Sacred) sebagai the one and only god, meskipun dengan atribut yang berbeda, beralih kepercayaan kepada unsur-unsur kepercayaan lain dalam bentuk kekuatan-kekuatan lain dengan disertai penamaan-penamaan tertentu yang, kemudian, pada gilirannya kembali kepada monoteisme. Mempertegas pernyataan para antropolog di atas, Amstrong berkeyakinan bahwa paham monoteisme muncul lebih dahulu. Paham monoteisme ini telah dikenal sejak dahulu sebelum orang-orang kemudian beralih menyembah tuhan-tuhan yang banyak (politesime). Dengan demikian ajaran monoteisme yang didakwahkan oleh agama-agama Semitik sesungguhnya bukanlah hal baru, melainkan mempertegas dan memperjelas kembali paham yang pernah tumbuh tetapi karena berbagai faktor lalu menjadi samar-samar.[75]

BAB II
PELACAKAN ASAL-USUL (GENEALOGI) AGAMA: Kajian tentang Eksistensi dan Problematika Teks Kebenaran (Wahyu) dalam Sejarah Kemanusiaan

A. Prawacana: Agama dan Kaum Beriman
Dalam perjalanan kebergamaan manusia, sistem-sistem kemasyarakatan tidak selamanya berjalan secara mulus. Terdapat sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa manusia beragama seringkali terjebak dalam polarisasi yang menguntungkan pribadi atau golongannya. Polarisasi ini kadangkala dilakukan dengan cara-cara yang tersistematisasi (baca: konspirasi politik, ekonomi, budaya dan sosial) dengan tujuan pembunuhan karakter (character assasination) suatu agama tertentu ataupun cara-cara illegal, seperti kekerasan, peperangan atau lain sebagainya. Secara hakiki, kearifan lokal yang awalnya mempu menuntun manusia kepada penghargaan sesama manusia mulai tergantikan dengan nilai-nilai hedonisme. Berbagai ketimpangan sosial yang dilakukan oleh golongan-golongan yang merasa lebih superior terhadap golongan inferior menemukan momentumnya dengan melemahnya nilai-nilai kearifan lokal. Dalam bentangan sejarah, kita bisa menyaksikan bagaimana hilangnya nilai-nilai keagamaan pada manusia, selain karena pola pikir yang yang telah termatrealisasikan juga karena konsep kearifan lokal telah ditelanjangi sekaligus dibungkam dengan nilai, sistem dan konsep yang melegalkan dehumanisasi kemanusiaan.
Terdapat pola hubungan yang relasional antara kearifan lokal dengan agama dimana, hal ini ditandai dengan adanya persamaan ajaran di antara keduanya. Dalam kearifan lokal terdapat anjuran untuk menghargai manusia, berbuat kebajikan dan mencegah kejahatan, bersikap dan berbuat adil dan lain sebagainnya. Dalam ajaran agama, anjuran-anjuran tersebut diperintahkan juga. Hanya saja dalam anjuran agama, perangkat-perngkatnya lebih tersistematisasi (baca: clear and distings) dan bersifat komprehensif.
Dalam stratifikasi masyarakat primitif yang hanya mengenal kearifan lokal, polarisasi masyarakat yang didasarkan atas hegemoni kekuasaan, keagamaan, intelektualitas dan sosial telah muncul kepermukaan.[76] Stratifikasi sosial yang seperti ini terus menerus dilegalkan dan, bahkan, lebih disistematisasi oleh kelompok-kelompok masyarakat beragama tertentu[77], yang menyebabkan kearifan lokal tergusur. Oleh sebab itu, terdapat titik temu antara ajaran monoteisme yang diklaim oleh Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm) dengan ajaran kearifan lokal yang bersifat monoteisme pula, timbul-lah sistem dan kepercayaan baru, yang bersifat monoteis, yang mencoba untuk mengembalikan manusia dalam koridor jalan yang lebih egaliter, populis dan humanistik.
Agama-agama besar, seperti Yahudi, Kristen dan Islam lahir, salah satunya, merespon tatatan sosial masyarakat yang mengenal kelas, timpang dan mendehumanisasi kemanusiaan secara kejam dan bersifat destruktif kemudian mendudukannya dalam posisi sejajar tanpa atribut kepangkatan sosial. Meskipun dalam jangka panjang, bahkan selamanya, agama-agama besar tersebut lebih meratifikasi ajaran-ajaran kearifan lokal yang sudah tidak lagi kompatibel dengan kebenaran monoteis, tetapi dalam aplikasinya agama-agama besar tersebut harus memahami kearifan-kearifan lokal sebagai jembatan untuk mengimplementasikan ajarannya kepada masyarakat yang akan menjadi sasaran perubahan.
Dalam kenyataannya, agama-agama besar lahir dari realitas sosial yang terhampar didepannya. Dalam konteks ini, deviasi sosial, seperti penindasan kaum lemah oleh kaum kuat, pelecehan seksual yang disertai kekerasan, penimbunan dan penguasaan distribusi kekayaan-ekonomi oleh kaum borjuis, pemerahan tenaga kerja oleh kaum berduit dan lain sebagainya yang terjadi pada waktu itu merupakan salah satu historical background kemunculan sekaligus respon agama atasnya. Agama mendobrak ketimpangan-ketimpangan tersebut dengan perlawanan yang luar biasa. Dalam hal ini, sejarah telah mencatat, bahwa masyarakat yang hidup sebelum agama-agama lahir mengalami persoalan yang termasuk stadium yang akut dalam realita kehidupannya. Kenyataan ini diperparah dengan adanya justifikasi dari para tokoh agamawan bahwa mereka-lah yang paling berhak untuk menentukan baik dan benar  dalam persoalan agama dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan serta legitimasi mereka. Akibatnya, kehidupan keagamaan pun menjadi tak menentu, dikarenakan masing-masing agamawan memiliki penafsiran masing-masing dalam persoalan agama.
Kondisi sosio-politik, sosial, ekonomi, budaya dan yang lainnya pun tak berbeda jauh. Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, dijadikan alat eksploitasi demi keuntungan mereka. Dalam konteks ini, para tokoh-tokoh penguasa dan ekonomi berebut lahan untuk dijadikan pundi-pundi penambah kekayaan mereka. Bahkan tak jarang, demi kepuasaan dan kekayaan, mereka berperang satu sama lain, tanpa mengindahkan etika-etika kemanusiaan. Hal ini diperparah lagi dengan kebiasaan mereka yang menganggap rendah kaum perempuan. Kaum perempuan, dalam masyarakat waktu itu, adalah second class yang bisa diperlakukan sesukanya. Perempuan adalah barang dagangan yang layak dijadikan komoditi ekonomi serta dijadikan pemuas nafsu belaka. Berkaca dari fenomena sosial diatas, agama lahir untuk mengembalikan posisi manusia kembali kepada ajaran sejatinya. Agama lahir untuk memberikan tuntunan dan bimbingan yang berkeadilan dan humanis dalam aplikasinya. Hal ini tentunya dibarengi dengan sejumlah aksi nyata (political will). Agama memperbaiki dan memposisikan tatanan sosial-kemasyarakatan yang telah hancur kembali kepada aspek-aspek kemanusiannya. Dalam soal distribusi kekayan, Islam, misalnya melarang penguasaan sepihak oleh golongan tertentu, masalah-masalah penindasan dan eksploitasi manusia pun ditegaskan dengan adanya persamaan hak, kewajiban dan hukum. Posisi kaum perempuan pun ditempatkan dalam posisi yang sesuai dengan porsinya.
Ketimpangan-ketimpangan yang diakibatkan dari deviasi sosial diatas akan menyebabkan kegelisahan seorang moralis yang sebenar-benarnya. Kegelisahan dalam dirinya, lahir akibat ia melihat realitas di sekitarnya, yang tidak sesuai dengan nurani, nilai-nilai luhur dan moral, tentu, dalam pandangan seorang guru moral yang suci.  Kegelisahan sang guru moral akan menghasilkan agama, mestilah untuk melakukan perubahan sosial, agar keseimbangan sistem sosial terjadi. Bahwa kemudian sang guru moral mendapatkan wahyu, atas klaim mereka sendiri yang kemudian dibenarkan oleh para pengikutnya, adalah soal lain.
Yang ingin ditegaskan disini, berkaitan dengan pelacakan asul-usul agama adalah, wahyu-wahyu itu telah menjadi justifikasi sebuah tindakan sosial bagi sang guru moral. Bahwa wahyu itu diyakini sebagai betul-betul datang dari Tuhan, lagi-lagi adalah soal lain. Sebab pada kenyataannya, sang guru moral melakukan tindakan sosial dengan mengklaim diri sebagai nabi dan rasul. Hampir tidak pernah ada, tradisi dimana para nabi dan rasul, tidak mendakwahkan bahwa dirinya adalah utusan Tuhan.
Wahyu-wahyu dalam diri seorang guru moral, sebagai justifikasi tadi, menjadi pendorong bagi penciptaan keseimbangan sosial. Beberapa orang kemudian mengikuti pikiran-pikiran dari seorang guru moral, yang telah mengklaim diri telah memperoleh wahyu tersebut. Sebagai tindakan sosial sang guru moral yang demikian, agama-agama dari asalnya muncul, kemudian mampu menyingkirkan ajaran-ajaran sebelumnya. Atau paling tidak, ajaran-ajaran itu mampu menjadi wacana tanding dalam sebuah komunitas dan menyeimbangkan hegemoni.[78] Dengan mempertimbangkan konteks sosial sebagai salah satu unsur dalam membedah asal-usul agama, maka terlihat jelas bahwa agama-agama besar yang ada sampai hari ini juga sekte-sekte keagamaan yang lahir belakangan, muncul untuk merespon ketimpangan-ketimpangan yang terdapat sejarah pergulatan manusia sebagai pengklaim kebenaran.
Agama-agama besar yang lahir pada waktu itu, yang sesuai juga dengan semangat zaman, melakukan pembelaan-pembelaan yang radikal dan realistis terhadap kaum yang tertindas sebagai bentuk perlawanan terhadap kaum hegemonik, yang dilegitimasi dan dijustifikasi dengan klaim-klaim teks ketuhanan (wahyu). Dari sinilah, kemudian, muncul persinggungan antara klaim kebenaran teks ketuhanan (wahyu) yang absolut dengan pemahaman atas kebenaran teks ketuhanan (wahyu) dalam tataran manusia yang bersifat relatif. Relatif karena manusia adalah mahluk yang propan, nisbi dan temporal, mengenal ruang dan waktu serta mengalami keterbatasan-keterbatasan intelektualitas.

B. Telaah Agama: Unsur-unsur Pembentuknya dan Pengelompokkam Agama
Terdapat beberapa unsur-unsur penting yang terdapat dalam sebuah agama. Pertama, adanya kepercayaan terhadap kekuatan gaib. Dalam konteks ini, manusia merasa bahwa dirinya adalah mahluk yang lemah dan memerlukan kekuatan gaib sebagai tempat untuk meminta pertolongan pelbagai kebutuhan dengan cara mematuhi perintah dan menjauhi larangannnya. Kedua, adanya keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan kebahagiaan akhiratnya tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Tanpa hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut, manisia akan sengsara hidupnya di dunia dan di akhirat. Ketiga, adanya respons yang bersifat emosional dari manusia itu sendiri, baik yang dalam bentuk perasaan takut maupun persaan cinta. Pada akhirnya, respon itu akan mengambil bentuk pemujaan atau penyembahan dan tata cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan. Dan keempat adalah adanya paham dan keyakinan terhadap yang kudus (the sacred) dan suci, seperti kitab suci, tempat-tepat ibadah dan lain sebagainya.[79]
Herbert Spencer barangkali orang pertama yang memandang agama dari perspektif Darwin, dalam karyanya First Principle, juga menyatakan bahwa agama adalah sisa kehidupan dan keyakinan primitif. Friedrich Max Muller juga menyatakan, orang yang pertama kali membahas asal usul agama secara ilmiah, bahwa agama sebagai, “…persepsi tentang yang tak terbatas yang melalui manisfestasi-manifestasnya dapat mempengaruhi moral manusia.” Adapun Emile Durkheim dan teori sosiologisnya tentang agama berpendapat bahwa agama berasal dari kondisi kolektif pikiran dan dapat di definisikan sebagai, “…sistem kesatuan keimanan dan perbuatan yang terkait dengan hal-hal suci, yaitu hal-hal yang harus dijauhi dan dilarang – keyakinan dan perbuatan menyatu ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja, di mana semua tunduk kepada sistem itu.”[80]
Dalam persoalan pengelompokan agama, terdapat berbagai versi. Ada yang mengelompokan agama berdasarkan negara atau benua, seperti agama Mesir kuno, agama Yahudi kuno, agama Romawi kuno, agama Persia, agama-agama India, agama-agama Cina, agama-agama Jepang dan agama-agama Semitik-Abrahamik (Yahudi, Nashrani dan Islam). Ada pula versi yang mengelompokan agama menurut sifat dan kondisi masyarakat penganut-penganutnya, yaitu agama-agama primitif yang dianut oleh masyarakat yang sudah maju atau masyarakat yang telah meninggalkan fase keprimitifannya, seperti agama monoteisme dan agama tauhid. Adapun agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif adalah dinamisme, animisme, politeisme dan henoteisme. Dinamisme adalah suatu paham yang mempercayai adanya benda-benda tertentu yang diyakini mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh dalam dan pada kehidupan sehari-hari. Animisme adalah agama yang mempercayai tiap-tiap benda, baik yang bernyawa ataupun yang tidak bernyawa, mempunyai roh. Menurut Edwars Burnett Tylor (1832 – 1917 M, orang yang pertama mendefinisikan agama) dalam bukunya, Primitive Culture (1871 M), animisme adalah bentuk agama tertua di dunia ini. Politeisme adalah kepercayaan terhadap dewa-dewa. Setiap dewa diyakini mempunyai tugas tertentu. Bila di antara dewa-dewa itu ada yang terbesar, yang dihormati dan dipuja, sedangkan dewa-dewa lainnya ditinggalkan, paham itu disebut dengan henoteisme.[81]
Robert H. Lowie menyatakan bahwa agama primitif dicirikan oleh 'suatu rasa luar biasa, misterius atau antikodrati sedangkan jawaban religius adalah rasa kagum dan terpesona; dan sumbernya ada dalam antikodrati, luar biasa, mengerikan, kudus, suci, illahi'. Paul Radin, menyatakan bahwa suatu perasaan religius (bukan tingkah laku religius yang khusus) adalah sesuatu yang lebih dari kepekaan normal terhadap kepercayaan dan kebiasaan tertentu, 'yang menyatakan dirinya dalam sebuah getaran hati, suatu perasaan gembira, mulia dan terpesona dalam suatu penyerapan total kepada perasaan-perasaan dalam diri manusia'.[82]   
Selain pembagian agama-agama diatas, terdapat pula pembagian agama berdasarkan pengelompokan agama wad'i (natural religions) atau agama alamiah dan agama samawi (revealed religions) atau agama yang diwahyukan. Agama wad'i merupakan agama-agama yang timbul di antara manusia (kreasi manusia) dan dari lingkungan di mana mereka hidup. Agama-agama yang tergolong dalam agama ini adalah' agama Hindu, Budha, Konghucu dan Shinto. Sedangkan agama-agama samawi adalah agama-agama yang diturunkan Allah SWT agar menjadi petunjuk bagi manusia. Yang tergolong agama samawi adalah agama Yahudi, agama Nashrani (Kristen) dan agama Islam.[83]
Keyakinan terhadap kebenaran agama adalah hal yang sangat kuat terpatri dalam setiap insan beragama. Tidak peduli apakah kebenaran tersebut sesuai dengan argumentasi-argumentasi logika/akal atau hanya bersifat doktrinal. Tak dapat dipungkiri bahwa agama, yang notabene diyakini bersumber dari wahyu Tuhan, ketika menyentuh ranah pemahaman manusia akan mengalami perkembangan dan perluasan penafsiran baik terhadap sumber-sumber teks keagamaan atau pola-pola ritualisasi. Manusia berupaya untuk mendapatkan penafsiran-penafsiran terhadap konsep dan sistem agama sesuai dengan kemampuan mereka. Alhasil, dalam realitasnya pamahaman manusia terhadap agama, meskipun diyakini bersumber dari Tuhan, akan mengalami pemaknaan yang parsialistik sesuai dengan kemampuan manusia untuk mengakses konsep dan sistem agama tersebut.
            Sebelum lebih jauh mengupas sejarah kelahiran agama, ada baiknya permulaan bab ini dimulai dengan beberapa pertanyaan tentang; bagaimana mengkorelasikan antara kearifan lokal dengan agama? Dalam aspek apa saja kearifan lokal mampu mewarnai keberadaan agama? Dengan polarisasi masyarakat modern hari ini, yang lebih mengedepankan nilai-nilai hedonis-matrealistik, destruktif-negatif dan parsialistik-positivistik, bagaimana agama dapat memberikan ketenangan, ketentraman dan kedamaian sehingga masyarakat modern dapat terwarnai nilai religiusnya tanpa melakukan klaim-klaim teologis sepihak yang memasung kebebasan beragama? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, tentu bukan hal yang mudah sebab, selain sebuah pertanyaan yang diawali dengan bagaimana membutuhkan penjelasan yang analitif-deskriptif juga membutuhkan referensi yang memadai. Alasan pengajuan pertanyaan-pertanyaan di atas disebabkan adanya interaksi yang bersifat simbiosis antara kearifan lokal dengan agama yang saling mewarnai dialektika keduanya dalam memberikan pemahaman terhadap manusia sampai hari ini.
            Dalam paparan sebelumnya, dijelaskan bahwa kearifan lokal tumbuh dan berkembang karena adanya keyakinan manusia, khususnya manusia primitif, terhadap kekuatan-kekuatan alam yang berada di sekitarnya. Pola pikir manusia yang masih berada dalam kondisi tradisonal dan sederhana akan memberikan, tentunya, pengetahuan dan jawaban atas fenomena-fenomena alam secara sederhana pula. Dalam kasus manusia primitif, mereka tidak berusaha untuk mengelaborasi fenomena-fenomena alam tersebut dengan sistem tanda yang rumit. Rasionalisasinya adalah bahwa semakin sederhana sistem tanda tentang keberadaan Yang Kudus (The Sacred) dalam konsep manusia primitif, maka akan semakin mudah dan sederhana pula bagi manusia primitif untuk melakukan ritualisasi keberagamaan sebagai penghormatan dan ungkapan terimakasih atas kemurahan Yang Kudus (The Sacred).
Sudah dipahami secara umum bahwa manusia lahir tanpa mengetahui apa-apa. Tetapi, manusia berkembang, dengan menggunakan panca indera, akal dan jiwanya, sedikit demi sedikit pengetahuannya bertambah. Dengan  pengamatan, pemikiran yang logis dan pengalamannya, manusia menemukan pengetahuan. Namun, kemampuan panca indera dan akal manusia terbatas sehingga menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Kondisi ini tentu mengganggu perasaan dan jiwanya, ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin membutuhkan jawaban maka manusia semakin tergganggu. Hal ini disebabkan manusia memiliki naluri ingin tahu. Menyadari keterbatasan dirinya, manusia membutuhkan informasi tentang apa yang tidak diketahuinya tersebut, khususnya yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan ketenangan jiwa dan menjadi syarat kebahagiannya. Maka, agama menjadi suatu kebutuhan esensial yang akan sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memuaskan.[84] Sedangkan dalam agama, karena mendapat legitimasi dan justifikasi dari teks ketuhanan (wahyu), Tuhan memperkenalkan dirinya sesuai kehendak-Nya. Dalam konteks inilah, manusia modern relatif bisa memahami konsep Tuhan sehingga dalam rangka memberikan penghormatan dan sebagai ungkapan terimakasihnya, manusia modern menyesuaikan ritualnya (ibadah) dengan cara, ketentuan dan keinginan Tuhan termasuk di dalamnya patuh terhadap apa yang diperintahkan Tuhan.
Secara simplistis, terdapat korelasi yang sinergis antara kearifan lokal dengan agama dimana hal ini lebih mendapatkan titik tekan pada aplikasi serta implikasi di antara keduanya. Dalam kearifan lokal cara penghormatan dan ungkapan terimakasih atas kemurahan Yang Kudus (The Sacred) dilakukan melalui alat-alat tertentu yang dianggap mampu untuk dijadikan perantara antara manusia primitif dengan Yang Kudus (The Sacred), seperti batu-batu, pepohonan, kekuatan petir, api dan lain sebagainya. Cara-cara penghormatan dan ungkapan terimakasih atas kemurahan Yang Kudus (The Sacred)  yang dilakukan melalui alat-alat tertentu yang dianggap mampu untuk dijadikan perantara antara manusia primitif dengan Yang Kudus (The Sacred) dalam ritual (ibadah) agama tidak bisa ditolerir, karena dalam pandangan agama Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm), khususnya Islam, cara-cara tersebut termasuk dalam kategori mustyrik dan tidak diperbolehkan.
            Dengan demikian agama hadir, salah satunya, untuk merubah ritualisasi yang salah, menyimpang dan tidak sesuai lagi dari ajaran monoteisme yang sebenarnya. Namun, dari sisi implikasi, agama pada hari ini, dengan bermacam-macam kerancuan berpikir manusia penganutnya, kosong dari rasa menghargai alam sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh terpolarisasinya kehidupan manusia, baik politik, ekonomi, sosial, budaya serta yang lainnya, oleh paradigma Cartesian-Newtonian[85] serta semakin liberalnya sendi-sendi kemanusiaan yang disertai memudarnya sendi-sendi agama. Hal ini yang menyebabkan alam merupakan bagian yang harus ditundukkan bahkan dieksploitasi sekehendaknya tanpa mempertimbangkan aspek-aspek negatif yang ditimbulkannya juga karena nalar manusia modern yang mampu merekayasa sains dan teknologi sebagai ‘lawan seimbang’ bagi agama. Adapun kearifan lokal, yang juga menganggap alam bagian dari kehidupan mikro dan makro-kosmos, memberikan penghargan yang tinggi kepada alam dengan cara melestarikan dan menjaga keutuhannya. Alhasil, kearifan lokal, dalam aspek-aspek tertentu, lebih bermartabat daripada agama, juga dengan pelbagai kerancuan berpikir penganutnya, dalam implikasi sistem dan nilai kepercayaan. Oleh karena itu belajar dari kearifan lokal untuk meneguhkan arti dan fungsi agama adalah sebuah kewajaran, kalau bukan sebuah keniscayaan.
            Dengan kata lain, hal ini secara langsung disebabkan oleh penciptaan lingkungan semu yang meminggirkan alam sejauh mungkin. Dalam lingkungan semacam itu, orang yang beragama pun telah kehilangan arti alam yang spritual. Alam menjadi ‘sesuatu’ yang tanpa makna dan pada saat yang sama, kekosongan yang diakibatkan oleh lenyapnya aspek eksistensi manusia yang vital ini terus hidup di dalam jiwa manusia dan memanifestasikan dirinya dalam banyak cara, bahkan terkadang kejam dan menyakitkan. Lebih lanjut, tipe kehidupan yang sekuler dan urban ini pun juga terancam, yakni melalui dominasi terhadap alam sehingga krisis yang ditimbulkan oleh perjumpaan manusia dengan alam dan penerapan sains alam modern di dalam teknologi, telah menjadi perhatian umum.[86] Bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh dominasi manusia atas alam telah banyak dikenal, sehingga tak perlu penjelasan. Manusia modern telah mendesakralisasi alam, meskipun proses ini sendiri hanya dibawa ke kesimpulan logisnya oleh sekelompok minoritas. Apalagi, alam telah dipandang sebagai sesuatu yang harus digunakan dan dinikmati semaksimal mungkin. Sains, yang dalam suatu pengertian merupakan hasil dan dalam pengertian lain sebab utama krisis perjumpaan manusia dan alam di masa sekarang, telah tersekularisasi. Dan pengetahuan tentang alam yang tersekularisasi ini kemudian dipisahkan dari visi tentang Tuhan di alam yang telah diterima sebagai satu-satunya bentuk sains yang sah. Apalagi, karena jarak yang memisahkan seorang saintis dan orang awam. Terciptalah sebuah distorsi dan perbedaan besar antara teori-teori saintifik dengan vulgarisasinya, padahal implikasi filosofis dan teologisnya sering bersarang di sini.[87]
C. Sejarah Kelahiran Agama: Asal-Usul (Genealogi) Agama dan Titik Temu Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm)
Dalam upaya untuk membedah asal-usul agama genealogi (asal-usul) agama, tidak akan bisa dilepaskan dari keberadaan masyarakat yng berada diseputar keyakinan terhadap agama tersebut, dimana agama dalam konteks ini telah mengalami penyimpangan dari ajaran yang bersifat monoteisme kepada politeisme, sedangkan masyarakat yang hidup dibawah bayang-bayang agama seperti ini (baca: politeisme) mengalami pergeseran keyakinan dimana sistem-sistem hegemonik, seperti politik, ekonomi, budaya, sosial dan lain sebagainya menjadi dominasi ajaran agama demi kepentingan pribadi dan golongan. Pembahasan awal tentang genealogi (asal-usul) agama tidak bisa dilepaskan dari sebab kelahiran agama itu sendiri, dimana konteks sosial dan keberadaan psikologis merupakan bagian yang harus dijadikan landasan awal dalam diskursus ini. Sebelum lebih jauh mengulas tentang kelahiran (genealogi) agama, menjadi penting kiranya untuk memberikan pemahaman tentang konsep monoteisme yang merupakan basis dari Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm), seperti Yahudi, Kristen dan Islam. Arti penting pembahasan ini secara garis besar, yang akan diawali dari pemahaman konsep monoteisme itu sendiri sejak manusia primitif sampai lahirnya Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm), akan menuntun kita kepada alur historisitas monoteisme beserta tumbuh-berkembangnya pemahaman masyarakat terhadap konsep-konsep yang melingkupinya sekaligus mencoba mempertemukan salah satu konsep penting yang terdapat dalam Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm), yaitu konsep hanif (kecenderungan dalam menyembah satu Tuhan).
Pada awal-awal pembahasan dinyatakan bahwa beberapa ahli antropolog, termasuk Karen Amstrong, berkeyakinan bahwa monoteisme merupakan paham pertama yang terdapat dalam masyarakat primitif, meskipun dengan nama dan istilah yang berbeda tetapi secara substansial menunjuk kepada yaitu Tuhan Yang Esa, yang kemudian berubah menjadi politeisme. Tuhan Yang Absolut inilah yang disembah oleh masyarakat primitif karena fungsi dan posisi-Nya diyakini manusia srbagai penguasa dan pencipta jagad semesta ini. Karena Maha Absolut, maka antara Tuhan dan manusia selalu terdapat ‘jarak’ yang amat jauh sehingga manusia manusia bersikap ‘paradoksal’ dalam memposisikan Tuhan. Tuhan diyakini sebagai yang termat jauh, bahkan tidak terjangkau (trancendent), tetapi sekaligus juga berada dalam, diri kita (immanent). Sebagai akibatnya, maka Yang Satu dan Absolut, karena tidak mungkin ‘ditaklukkan’ oleh kapasitas nalar manusia, ditangkap kehadiran-Nya melalui simbol-simbol yang disakralkan sehingga di mata manusia lalu muncul tuhan-tuhan yang plural.[88]
Jean Danielou menyimpulkan bahwa meskipun monoteisme itu merupakan keyakinan sejak awal, namun penangkapan dan artikulasinya masih samar-samar dan berbaur dengan mitos-mitos sebagaimana terlihat dalam agama pagan.[89] Mariasusai Dhavamony berkesimpulan bahwa, hampir senada dengan pernyataan di atas, dalam paham politeisme kepercayaan kepada satu Tuhan merupakan hal yang biasa. Kemudian dalam monoteisme akhir, yaitu Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm), mengalami penyempurnaan dimana keyakinan terhadap satu Tuhan merupakan segalanya.[90] Dengan demikian, secara tegas, kita dapat menyatakan bahwa monoteisme dalam tahapan ini belum semurni doktrin monoteisme yang disampaikan oleh Nabi Ibrâhîm yang lebih dipertegas oleh Nabi Muhammad Saw.
Alasan yang menjadi landasan dari genealogi (asal-usul) dan kelahiran agama adalah perasaan takut yang kemudian melahirkan pemberian sesajen kepada yang diyakini memiliki kekuatan yang menakutkan. Sigmund Freud, ahli ilmu kejiwaan, berpendapat bahwa benih agama muncul dari komplek Oedipus. Hal ini mulai dari adanya dorongan seksual seorang anak kepada ibunya, kemudian sang anak membunuh bapaknya karena dorongan seksual kepada ibunya terhalang oleh bapaknya. Tetapi, pembunuhan bapaknya ini melahirkan penyesalan di dalam jiwa sang anak, sehingga lahirlah penyembahan terhadap ruh sang bapak. Sedangkan pakar-pakar agama Islam menyatakan bahwa benih agama muncul dari penemuan terhadap kebenaran, keindaham dan kebaikan.[91]
Adalah Nabi Ibrâhîm yang dalam berbagai litelatur, baik Yahudi, Kristen dan Islam, dinyatakan sebagai bapak monoteisme[92] yang sebenarnya.[93] Hanya saja untuk menyebut model agama Ibrahim, al-Qur`ân menggunakan kata millah, bukan dîn. Kedua kata ini, yaitu millah dan dîn, diartikan sama yaitu ‘agama’[94] tetapi sebetulnya terdapat perbedaan pengertian yang cukup signifikan di antara keduanya.[95] Kata millah sendiri, baik yang berdiri sendiri maupun bersambung dengan kata lain, terulang sebanyak 17 kali dalam beberapa surat.[96] Dari ke-17 tempat yang terdapat kata millah didalamnya, dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, kata millah yang digandengkan dengan penyebutan nama Ibrâhîm secara tegas, terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah: 130 & 135, Q.S. Âli ‘Imrân: 95, Q.S. An-Nisâ`: 125, Q.S. Yusûf: 38, Q.S. An-Nahl: 123. Kata millah dalam ayat-ayat tersebut berarti ‘keteguhan hati’ sebagai kecenderungan Ibrâhîm sebab kata millah digandengkan dengan kata ‘yang lurus’ dalam meyakini dan mengabdi kepada Tuhan.[97] Kedua, kata millah yang digandengan keberadaannya dalam komunitas (bukan individu seperti Ibrâhîm), terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah: 120, Q.S. Al-A’râf: 88 & 89 (dalam ayat 89, penyebutan kata millah dinyatakan 2 kali dengan ungkapan millatukum dan millatinâ), Q.S. Ibrâhîm: 13, dan Q.S. Al-Kahfi: 20, Q.S. Yusûf: 37 & 38 dan Q.S. Shad: 7.[98]
Dalam Q.S. Shad: 7, kata millah dikaitkan dengan orang-orang kafir Mekah. Ini berarti, meski dikaitkan dengan komunitas, tetap terkait maknanya dengan ‘keteguhan hati’ untuk mengabdi kepada Tuhan. Sebab, ketika menghadapi kelompok-kelompok kafir Mekah, Nabi Muhammad belum berbicara tentang hukum-hukum sosial, tetapi sebatas pada soal kepercayaan-kepercayaan, soal keteguhan hati dalam mengabdi Tuhan sebagai stimulus moral untuk melawan penindas. Q.S. Yusûf: 37 kata millah dikaitkan dengan agama orang-orang yang memenjarakan Yusûf, yang kemudian diteruskan dengan ‘mereka yang tidak beriman’. Dengan sendirinya, maka kata millah dalam hal ini adalah soal ‘keteguhan hati’ dalam mengabdi kepada Tuhan yang tidak dimiliki orang-orang yang memusuhi Yusuf dan menjebloskannya dalam penjara.
Q.S. Al-Baqarah: 120, kata millah dikaitkan dengan Yahudi dan Nashrani, tentu saja tidak bisa digeneralisir menyangkut keseluruhan ajaran-ajaran Yahudi dan Nashrani. Sebab, bantahan-bantahan yang terjadi antara Muhammad dan pemuka-pemuka Yahudi-Nashrani lebih menyangkut masalah-masalah keimanan kepada Allâh dan itu lagi-lagi kaitannya dengan ‘keteguhan hati’ dalam hal kepercayaan. Jadi, kepada Yahudi dan Nashrani, kaitannya dengan millah mereka adalah juga soal ‘keteguhan hati’ dan ‘kepercayaan yang terdalam dalam diri’.[99] Q.S. Al-A’râf: 88 & 89, berkaitan dengan agama musuh-musuh Syu'aib, QS. Al-Kahfi: 20 millah yang dikaitkan dengan musuh-musuh ashabul kahfi dan Q.S. Ibrâhîm: 13, yang dikaitkan dengan musuh-musuh Ibrâhîm, juga memiliki makna yang berkaitan dengan ‘keteguhan hati’ yang tidak sama dengan mereka. Kata-kata millah yang digandengkan dengan keyakinan musuh-musuh Syu'aib, ashâb al-kahfi dan Ibrâhîm adalah ‘kepercayaan’ atau soal ‘keteguhan hati’ para musuh-musuh Syu'aib, ashâb al-kahfi dan Ibrâhîm dalam mengabdi kepada selain Allah.[100]
Kata hanif berasal dari kata kerja hanafa, yahnifu dengan masdarnya hanifan, artinya ‘condong’ atau ‘cenderung’ dan kata kerjanya adalah ‘kecenderungan’. Tetapi dalam konteks al-Qur`ân, yang dimaksud hanif adalah kecenderungan kepada yang benar. Keterangan yang lebih lengkap tentang arti yang spesifik dari kata hanif ini dijelaskam oleh Hadrat Mirza Nasir Ahmad, dalam karyanya The Holy Qur`ân, yang diartikan dengan:
a.       orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengalahkan dirinya kepada petunjuk.
b.       orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling daripadanya.
c.       seseorang yang cenderung untuk menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus menerus mempertahankannya secara teguh.
d.      seseorang yang mengikuti agama Ibrahim.
e.       yang percaya kepada seluruh nabi-nabi.
Keterangan-keterangan di atas, merujuk kepada pernyataan al-Qur`ân, misalnya Q.S. Al-Baqarah: 135. Dalam ayat tersebut kata hanif diterjemahkan dengan ‘lurus’. Dalam  konteks ayat tersebut, ‘lurus’ berarti, pertama, ‘tidak mengikuti ajaran Yahudi maupun Nashrani’ dan kedua, ‘tidak menganut politeisme atau menyembah berhala yang pada waktu berlaku di berbagai kalangan masyarakat’, termasuk diantaranya orang-orang Arab.[101] Sedangkan, sebagai penjelasan tambahan ayat di atas, dalam Q.S Al-Baqarah: 136 memberikan perincian lebih lanjut ciri-ciri kepercayaan seorang hanif. Ayat ini memberikan keterangan positif, yaitu yang beriman kepada Allâh, sebagaimana yang diturunkan oleh Allâh serta diajarkan oleh nabi-nabi lain, sejak Ibrâhîm hingga Mûsâ dan ‘Isâ. Sebagaimana diketahui, Mûsâ dianggap senagai pendiri agama Yahudi, sedangkan ‘Isâ adalah penumbuh agama Nashrani. Bagi Islam, kesemuanya adalah orang-orang yang hanif atau Muslim dan sebagai nabi, mereka mendapat wahyu dari dan mengajarkan kepercayaan kepada Allâh. Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Islam juga mengakui nabi-nabi agama lain yang mengajarkan kepercayaan yang sama yaitu tauhid kepada Allâh, Tuhan Yang Maha Esa.[102]
            Ada tiga versi interpretasi yang berkaitan dengan soal di atas. Pertama, menurut Muhammad ‘Alî, ayat diatas membuktikan keinternasionalan Islam. Lebih lanjut, katanya, “Rukun iman agama Islam bukan hanya menyuruh kaum Muslimin beriman kepada para nabi Bangsa Israel yang besar saja, melainkan ayat yang menerangkan beriman kepada apa yang diwahyukan kepada para nabi dari Tuhan mereka, membuat iman kaum Muslimin kepada para nabi menjadi begitu luas, seperti luasnya dunia.” Keterangan kedua, adalah keterangan dari H. Agus Salim, bahwa menurut kepercayaan kaum Muslimin, agama-agama yang dibawa para nabi terdahulu, khususnya yang disebutkan dalam al-Qur`ân, adalah agama Islam juga, karena intinya adalah tunduk dan menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, ada interpretasi yang menyatakan kepercayaan oleh bangsa apapun yang intinya cenderung kepada Tuhan Yang Maha Esa, adalah bersifat hanifah dan karena itu oranya disebut dengan hanif.[103]     
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa untuk menjadi seorang monoteis bisa saja diperoleh dengan cara melalui penalaran, pengalaman dan perenungan hidup. Yaitu berupaya sekuat kemampuannya untuk menjelaskan kekuatan Gaib dan misteri yang ada dalam diri setiap individu.[104] Tuhan-tuhan (politeisme), setelah mengalami masa perjalanan yang panjang, itu banyak yang mati. Namun, secara keseluruhan dari banyaknya upaya pengakuan dan pencarian tentang tuhan-tuhan itu, ternyata pada akhirnya tertuju pada suatu pengakuan bahwa adanya Satu Tuhan. Pengakuan semacam ini akan terlihat secara jelas pada tuhan-tuhan yang disembah oleh tiga agama besar, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam, dimana dalam penuturan sejarah ketiga agama ini dikenal sebagai Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm).[105]
Genealogi (asal-usul) agama, salah satunya, dapat dikaitkan dengan konteks sosial secara makro, dimana dalam hal ini terdapat 4 unsur yang tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan, yaitu terjadinya krisis sosial, adanya sebuah kegelisahan seorang moralis (calon utusan Tuhan/nabi dan rasul) karena melihat langsung krisis sosial, hadirnya teks ketuhanan (wahyu) sebagi alat legitimasi dan justifikasi untuk melakukan perubahan dari krisis sosial yang diakibatkannya dan adanya organisasi agama.
Ketika terjadi pergeseran dari keyakinan monoteisme awal, masyarakat primituf, kepada paham politeisme, menyembah banyak tuhan, kemudian kembali menjadi monoteisme dalam bentuk Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm), seperti Yahudi, Kristen dan Islam kondisi sosio-politik, sosial, ekonomi, budaya dan yang lainnya mengalami ketimpangan yang destruktif-hegemonik. Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, dijadikan alat eksploitasi demi keuntungan golongan tiranik dan despotik. Dalam konteks ini, para tokoh-tokoh penguasa dan ekonomi berebut lahan basah untuk dijadikan pundi-pundi penambah kekayaan mereka. Bahkan tak jarang, demi kepuasaan dan kekayaan, mereka berperang satu sama lain, tanpa mengindahkan etika-etika kemanusiaan. Hal ini diperparah lagi dengan kebiasaan mereka yang menganggap rendah kaum perempuan. Kaum perempuan, dalam masyarakat waktu itu, adalah second class yang bisa diperlakukan sesukanya. Perempuan adalah barang dagangan yang layak dijadikan komoditi ekonomi serta dijadikan pemuas nafsu belaka. Berkaca dari fenomena sosial diatas, agama lahir untuk mengembalikan posisi manusia kembali kepada ajaran sejatinya. Agama lahir untuk memberikan tuntunan dan bimbingan yang berkeadilan dan humanis dalam aplikasinya. Hal ini tentunya dibarengi dengan sejumlah aksi nyata (political will). Agama memperbaiki dan memposisikan tatanan sosial-kemasyarakatan yang telah hancur, kembali kepada aspek-aspek kemanusiannya. Dalam soal distribusi kekayan, Islam, misalnya melarang penguasaan sepihak oleh golongan tertentu, masalah-masalah penindasan dan eksploitasi manusia pun ditegaskan dengan adanya persamaan hak, kewajiban dan hukum. Posisi kaum perempuan pun ditempatkan dalam posisi yang sesuai dengan porsinya.
Agama Yahudi dalam litelatur Barat disebut dengan Judaism, sedangkan dalam litelatur berbahasa Arab disebut Yahudi. Penyebutan Judaism mulai dipergunakan sekitar tahun 100 SM, yang berasal dari litelatur Yahudi sendiri. Agama Yahudi adalah agama yang paling tua di antara lima agama yang menganut keyakinan bahwa kodrat illahi langsung memberikan wahyu kepada utusan-Nya. Empat agama yang lainnya adalah, agama Zarathustra[106], agama Kristen, agama Islam dan agama Sikh[107]. Dan, sebagaimana kita ketahui bersama agama Yahudi secara langung memperlihatkan pengaruhnya dalam persoalan teologis terhadap dua agama lainnya, yaitu agama Kristen dan agama Islam. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuan dan pemuliaan rasul dan nabi yang berada dalam kepercayaan agama Yahudi.[108]
            Asal mula agama Yahudi, masuk akal untuk mengandaikan, mungkin terbentuk karena adanya kecenderungan terhadap monoteisme di Asir kuno, tempat sejumlah dewa-dewa gunung seperti Yahweh, El Sabaouth, El Shalom, El Shaddai, El Elyon dan yang lain, entah yang mana yang akhirnya diakui sebagai dewa tertinggi, mungkin karena adanya pembauran di anatar suku-suku setempat. Kemudian diadopsi oleh suku Israil, sebuah suku lokal, monoteisme dasar Arabia Barat ini lambat laun berkemabang menjadi sebuah agama dengan jalan pemikiran yang tinggi, yang mempunyai sebuah kitab keagamaan tetap, yang mengandung gagasan yang rumit tentang sifat ketuhanan dan mempunyai tema kemanusiaan dan etika tersendiri. Agama itu dengan mudah menarik peminat-peminat dari luar daerah asalnya, khususnya dari daerah-daerah yang telah mengenal ketatasusilaan dan yang telah memiliki tingkat pemikiran yang cukup tinggi. Karena agama itu mempunyai kitab dan dikembangkan oleh orang-orang yang dapat menulis dan membaca, agama itu mudah untuk disebarluaskan.[109]
            Bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab Yahudi ini biasanya disebut Ibrani[110] dan agaknya merupakan dialek sebuah bahasa Semit, yang dahulunya merupakan bahasa sehari-hari yang dipakai di berbagai daerah di Arabia selatan, Barat dan Suria (termasuk Palestina). Kemudian bahasa ini masa kini disebut dengan bahasa Kanaan, nama sebuah bangsa menurut Bibel yang menggunakan nama ini. di samping bahasa Kanaan, ada satu lagi bahasa yang dipakai di jazirah Arab dan Suria, bahasa ini adalah bahasa Aram, diberi nama ini menurut nama bangsa Aram dari Bibel. Tidak bermaksud untuk menjelaskan siapa itu Kanaan dan Aram, dapat dipastikan bahwa bahasa Kanaan (atau bahasa Ibrani) dan bahasa Aram, pernah dalam waktu yang bersamaan dipergunakan oleh berbagai masyarakat Arab dari wilayah Barat, seperti halnya di Suria.[111]
Kemungkinan besar awal tersebarnya agama Yahudi dari tanah asalnya di Arabia Barat ke Palestina dan ke daerah-daerah lain adalah dengan mengikuti jalur kafilah perdagangan antar Arabia. Pada zaman kuno, wilayah Asir di Arabia Barat, merupakan tempat pertemuan kafilah-kafilah yang yang membawa barang-barang dagangan dari berbagai negara di kawasan teluk Samudera Hindia seperti India, Arabia Selatan serta Afrika Timur, dari satu arah dan Persia-Mesopotamia, dan negara-negara di Laut Tengah bagian Timur, Terutama Suria, Mesir dari dunia Aegea, dari arah yang lain.[112] Kitab Kejadian (Genensis), mulai dari pasal 1 sampai pasal X, berisikan kisah kejadian alam semesta, kejadian Adam serta Hawa dan kisah keturunan Adam sampai Nuh, yang ditimpa bencana topan besar (great deluge). Semuanya binasa terkena bencana topan besar kecuali turunan Nuh[113], dimana umat manusia yang ada sekarang ini adalah keturunan Nuh. Keturunan Nuh tersebut kemudian menghasilkan rumpun-rumpun dan bangsa-bangsa tersendiri, yang memilki perbedaan-perbedaan mendasar baik dari sisi fisik maupun bahasa yang dipakai, dikenal dengan rumpun Semitik (Sem), rumpun Hemitik (Hem) dan rumpun Jafecik (Jaf).[114]
            Dalam kitab yang sama, mulai dari pasal XI sampai pasal XXXVIII, menceritakan tentang Abram (Abraham, Ibrahim), Terah, bapaknya Abram (Abraham, Ibrahim) dan hal-hal yang berkaitan dengan Abram (Abraham, Ibrahim) itu sendiri. Dalam kitab tersebut dijelaskan tentang keberangkatan Abram (Abraham, Ibrahim) bersama keponakan-keponakannya dari kota kelahirannya, kota tua Ur dalan wilayah Kaldani (Irak), menyebrangi sungai Euphrate menuju tanah Kanaan (Palestina) di bagian barat, pergi ke Mesir, pulang kembali serta menetap bersama keluarganya di tanah Kanaan itu. Karena Abram (Abraham, Ibrahim) itu adalah orang seberang, yakni dari seberang sungai Euphrate, maka penduduk di tanah Kanaan menyebutnya dengan Ibrani (orang seberang).[115]
            Abram (Abraham, Ibrahim) beristrikan Hajar yang melahirkan putera tertua yakni Isma'il, selain itu juga beristrikan Sarah yang juga berputra Ishak, juga beristrikan Ketura yang melahirkan enam putra, yaitu; Imzan, Koksan, Modan, Midian, Isbak dan Suah. Hajar dan putranya, Isma'il pindah ke padang pasir (HIjaz) dan turunannya berkembang biak di sana. Sedangkan Ishak memiliki anak, dimana yang paling tua bernama Ya'kub, yang digelari Israil. Kemudian Ya'kub memilki anak 12, yang dari ke-12 anak Ya'kub tersebut melahirkan keturunan 12 suku Israil.[116]
            Sedangkan mulai pasal XXXIX sampai pasal XL, yang merupakan pasal terakhir, mengisahkan peristiwa Nabi Yusuf, putera termuda Nabi Ya'kub. Dalam pasal-pasal tersebut, dikisahkan bahwa Nabi Yusuf di buang oleh ke-11 saudaranya ke dalam telaga, yang diketemukan oleh kafilah dagang menuju Mesir, dijual kepada Raja, istri Raja tersebut tergoda oleh ketempanan Nabi Yusuf, terkena fitnah oleh istri raja sehingga dimasukkan ke dalam penjara, ramalan Yusuf di penjara tentang mimpi Raja, diundang Raja memegang tumpuk kekuasaan, tujuh tahun musim makmur dan tujuh tahun musim paceklik, kedatangan saudara-saudaranya darai tanah Kanaan ke Mesir untuk membeli gandum, tipu muslihat Yusuf terhadap saudara-sadaranya hingga akhirnya saudara-saudaranya itu terpaksa membawa bapaknya, Ya'kub, ke tanah Mesir, lalu 12 suku Israil itu menetap di tanah Mesir dengan keturunannya selama 400 tahun, menjelang dibebaskannya Musa dari penindasana Pharao (Fir'aun). Bagian terakhir dijelaskan di dalam Kitab Keluaran (Exodus).[117]
Setelah Bani Israil mengalami penderitaan panjang selama 40 tahun di Padang Tiah, yang hanya hidup cuma dengan Manna dan Salwa (Keluaran, XVI: 1-35), maka nabi Yusak (Joshea) sepeninggal Nabi Musa, memimpin Bani Israil, yang semakin berkembang, untuk menyerang dan merebut tanah Kanaan (Palestina) kemudian menguasainya, hingga berhasil membentuk Pemerintahan Hakim-Hakim (Hakim-Hakim, I-XXI), setelah itu terbentuklah Pemerintahan Raja-Raja (I Raja-Raja, I-XXII; II Raja-Raja, I-XXV).[118]
            Dalam kawasan baru tersebut, sebelum Kanaan direbut Bani Israil, penduduk Kanaan memiliki keyakinan memuja dewa Baal dan dewi Astartel, lambat laun Bani Israil terbawa oleh keyakinan penduduk Kanaan tersebut. Kemudian pada saat mereka ditaklukan oleh bangsa Assyria dan bangsa Babilonia, Bani Israil pun ikut-ikutan memuja dewa Marduk, dewa Anu dan dewi Anki serta dewa-dewa lainnya. Ketika mereka ditaklukan oleh bangsa Greek maka Bani Israil pun terseret oleh keyakinan bangsa Greek, yaitu memuja dewa Zeus, dewi Aphrodite serta dewa-dewa lainnya. Fakta historis Bani Israil yang demikian panjang, dengan berulangkali meninggalkan ajaran Yehuwa serta melupakan perjanjian dengan Yehuwa itulah mungkin yang menyebabkan banyak melahirkan nabi-nabi dengan tujuan untuk memulihkan kembali ajaran-ajaran dan keyakinan tentang keesaan Yehuwa.[119]
            Dalam ritual Yahudi-Israel, terdapat suatu kultus yang rumit selain persembahan-persembahan harian. Dalam kitab-kitab Musa, persembahan seperti binatang dan sayuran diberi tempat penting. Perayaan yang paling istimewa adalah perayaan Tahun Baru. Pada saat itu, alam ciptaan, kekuasaan Yahwe, pembaharuan janji dan sangat mungkin suatu ibadah tobat istana, diperingati. Hal ini kerap kali ditunjuk seperti Perayaan Perjanjian. Pada hari pertobatan selama masa sesudah pembuangan, kesalahan-kesalahan jemaah ditempatkan di atas kepala kambing, yang dibuang ke hutan dan imam agung memasuki tempat yang sangat suci untuk memperoleh pertobatan. Perayaan lainnya adalah perayaan Paskah Yahudi, yang menjamin pembaharuan kultus peristiwa-peristiwa eksodus dari Mesir, karena amat mendasar bagi keberdaan bangsa itu. selama perayaan, seekor anak domba dikurbankan dan disantap. Dan selama delapan hari perayaan hanya roti tak beragi yang boleh dimakan. Hari ketujuh dari minggu itu, yakni Sabbath, merupakan hari istirahat.
            Pusat kegiatan suci Israel yang tertua adalah Tabut perjanjian dengan dua loh batu berisi hukum. Salomo mendirikan Bait Suci untuk menyimpan Tabut ini. Bait Suci tersebut terdiri atas dua ruangan, 'tempat suci' dan 'tempat yang amat suci'. Karena patung-patung kultis dilarang, maka Tabut menjadi tempat kehadiran Yahwe di tempat yang amat suci tersebut. Yang paling penting untuk dicatat dalam kultis Israel adalah historisnya, yang berlawanan secara mencolok dengan agama Kanaan. Unsur religius yang murni amat sangat penting dalam hidup kultis Israel. Hal ini tampak jelas, khususnya dalam penanggalan bangsa berkenaan dengan pesta-pesta. Penanggalan pesta-pesta ini boleh jadi disusun dari unsur-unsur kuno, tetapi hal ini mengandaikan suatu ciri tertentu di Israel yang menghubungkan mereka secara langsung kepada karya-karya penyelamatan Yahwe dalam sejarah.[120]
Dalam agama Israel setiap anak dari ibu Yahudi dipandang dilahirkan dalam Perjanjian Israel, meskipun hanya anak laki-laki yang disunat pada hari kedelapan sesudah kelahirannya. Penyunatan tampaknya bukan sebagai inisiasi, tetapi lebih sebagai pemberian 'tanda Perjanjian'. Kebiasaan ini sangat berarti sampai orang-orang Yahudi yang tidak menjalankan agamanya pun mengikuti kebiasaan ini, bukan dengan cara lain. Sunat merupakan tanda khas bahwa mereka termasuk orang-orang Yahudi. Sunat, seperti halnya ibadah hari Sabat, menjadi suatu tanda Perjanjian. Orang-orang Yahudi dalam pembuangan memandang ibadah Sabat maupun sunat sebagai dua dinding penopang keberadaan mereka. Keduanya disebut sebagai tanda-tanda Perjanjian dan secara tidak terpisah dihubungkan dengan dasar keberadaan nasional Israel. Penyunatan dihubungkan dengan nama Abraham.[121]
Sekedar gambaran umum tentang bagaimana agama lahir disebabkan, salah satunya, oleh krisis sosial yang destruktif dan hegemonik dan bisa dijadikan rujukan, adalah ‘pergulatan’ dan ‘pertarungan’ Kristen dan Islam pada awal-awal kelahirannya. Yesus dilahirkan di lingkungan bangsa Yahudi, yang pada saat itu ada di bawah kekuasaan Romawi. Tepatnya di wilayah yang disebut Nazareth atau Nashara, sebagaimana ditulis dalam Perjanjian Baru, di daerah Galelia, Palestina.[122] Kalangan Kristiani sebagaimana digambarkan dalam al-Kitab, menyandarkan garis keturunan Yesus kepada Maria. Hanya saja, terdapat perbedaan silsilah antara Injil Lukas dengan Matius. Dalam Lukas, Yûsuf [123] ada pada urutan silsilah yang ke-42 dari Dâud. Sedangkan Matius menempatkan Yesus di urutan ke-27.[124]
            Perdebatan diseputar Maryam, ‘Isâ dan Yûsuf sebagai keturunan Nabi Dâud masih menjadi polemik. Terdapat keterangan yang menyatakan bahwa tatkala Isa lahir, terdapat tiga stratifikasi masyarakat pada waktu itu. Pertama, golongan yang tidak tahu-menahu dengan kenabian ‘Isâ, yaitu golongan Yahudi yang beragama Yahudi. Golongan inilah yang nantinya merencanakan pembunuhan Nabi ‘Isâ. Kedua, golongan yang percaya pada kenabian ‘Isâ dan menuruti ajarannya, tetapi tidak menganggapnya sebagai Menahem (ratu adil) yang dijanjikan Mûsâ juga tidak sebagai raja Israil dari keturunan Dâud, golongan ini diindikasikan sebagai pengikut Nabi ‘Isâ yang sejati yang pada akhirnya membentuk Jemaah Yarusalem yang berjumlah sedikit, yang kemudian, pengaruhnya dikalahkan dan lenyap oleh golongan ketiga. Dan ketiga, golongan yang terbesar, yaitu golongan Nashrani, yang asalnya bukan dari bangsa Yahudi tetapi dari luar Yahudi (mazhab Antiokia, umat Nashrani sekarang). Golongan terakhir inilah yang menyatakan bahwa Nabi ‘Isâ adalah keturunan Dâud melalui silsilah Yûsuf.[125]
            Dalam konteks Kristen, kelahiran ‘Isâ bin Maryam (atau Yesus dalam tradisi Kristen) dan ajarannya harus berhadapan dengan penguasa-penguasa yang despotik dan tiranik. Stratifikasi sosial yang terdapat pada masa ‘Isâ bin Maryam (atau Yesus dalam tradisi Kristen) terbagi dalam 3 golongan, dimana kelompok satu berusaha menghegemoni kelompok lain dan juga saling mengklaim ajaran-ajarannya paling benar. Pertama, golongan Shaduki atau para rahib yang mengasai urusan bait Allâh orang Yahudi. Golongan ini mentolelir adanya kolonialisme Romawi dalam politik, sedangkan dalam isu agama, mereka membantah adanya kebangkitan setelah kematian dan, yang terpenting, menolak kekuasaan mutlak Tuhan. Kedua, golongan Pharisi atau para ahli hukum yang menafsirkan Taurat secara kaku dan rigid. Dalam isu politik, mereka menolak keras adanya kolonialisme Romawi, sedangkan dalam isu agama, mereka meyakini kebangkitan setelah mati dan mengakui adanya kekuasaan mutlak Tuhan. Ketiga, golongan Zealot dan Essene. Golongan Zealot adalah kelompok militan yang anti kolonialisme Romawi dan berusaha mengorganisir pemberontakan secara real, sedangkan golongan Essene adalah kelompok yang lebih memilih damai dan menarik diri ke gurun-gurun. Isu masing-masing golongan ini bertarung di tingkat wacana publik untuk merebut simpati dan mendapatkan kekuasaan dan pengaruh masyarakat Yahudi.[126]
            Dalam situasi seperti itu, ‘Isâ bin Maryam (atau Yesus dalam tradisi Kristen) membawa ajaran yang bertolak belakang dengan keyakinan golongan-golongan di atas. Ajaran ‘Isâ bin Maryam (atau Yesus dalam tradisi Kristen), yang sangat spiritual, kepada golongan Zealot adalah mengajarkan ‘Kerajaan Sorga’ atau ‘Kerajaan Yesus’ tidak berada di dunia ini sementara golongan Zealot ingin cepat merdeka. Kepada golongan Pharisi, Ajaran ‘Isâ bin Maryam (atau Yesus dalam tradisi Kristen) adalah menyembuhkan orang di hari Shabat dengan anggapan mesti ada kelonggaran dalam membela manusia sedangkan golongan Pharisi meyakini bahwa hari Shabat adalah hari istirahatnya Tuhan. Sedangkan terhadap golongan Shaduki, Ajaran ‘Isâ bin Maryam (atau Yesus dalam tradisi Kristen) adalah mengecam keras monopoli administrasi bait Allâh yang dijadikan sarang pencuri dan sarang uang dengan berkedok agama. Bahkan, Ajaran ‘Isâ bin Maryam (atau Yesus dalam tradisi Kristen) kepada ahli Taurat dan golongan Shaduki lebih keras karena golongan ini membuat skandal-skandal agama.[127]
            Dalam kasus Islam dengan tokoh utama dan sang guru moral bernama Muhammad, kondisi sosial yang terjadi sama bobroknya dengan kondisi sosial ‘Isâ bin Maryam (atau Yesus dalam tradisi Kristen) sehingga zaman, dimana Muhammad lahir lazim disebut dengan jahiliyyah.[128] Dalam fakta sejarah, kelahiran Islam juga di ilhami, salah satunya, dengan adanya ketimpangan sosial yang ada pada waktu itu. Sebagaimana diketahui bersama, ketimpangan-ketimpangan sosial pada waktu itu, hampir-hampir telah melampaui batas titik nadir kemanusiaan. Kaum borjuis berusaha untuk menguasai distribusi-distribusi ekonomi dengan semena-mena dan demi mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya yang diperuntukkan hanya untuk kepentingan pribadi dan golongannya, kaum agamawan berusaha menjustifikasi pagan atau idolisme[129] sebagai sebuah ritual dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.[130] Demikian pula kaum politikus berusaha untuk menghegemoni kaum-kaum yang lemah untuk melanggengkan kekuasaannya. Dari penjelasan di atas, terlihat secara jelas bahwa ketimpangan-ketimpangan sosial yang destruktif-hegemonik menjadi salah satu tujuan dari kelahiran agama-agama monoteis yang telah diprakarsai oleh Ibrâhîm. Disini pula kita melihat, secara sederhana, titik temu Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm).
            Untuk melihat titik temu Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm), tesis yang diajukan Frithjof Schuon kiranya bisa dijadikan landasan yang memadai. Frithjof Schuon memberikan garis pemisah antara yang eksoteris dan esoteris. Dalam pandangan Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam maya, kosmos yang tercipta. Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan Tuhan sebagai esensi karena eksoterisme berada di dalam maya. Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu, meskipun demikian kebenaran eksoteris adalah relatif. Sedangkan esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoteris, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik. Esoteris bagaikan ‘hati’ dan eksoteris bagaikan ‘badan’ agama. Kehidupan agama yang eksoteris ada pada dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (a formless Essence) yang esoteris. Dimensi esoteris agama-agama itu berada di atas dimensi eksoteris dan pada dimensi esoteris itulah, menurut Schuon, terdapat titik-titik temu agama.[131] Intinya, secara esoteris, pada dasarnya semua agama adalah sama, tetapi secara eksoteris masing-masing agama berbeda. Dimensi esoteris dapat dilihat dari aspek metafis, yakni ‘keberadaan Tuhan’ yang dalam agama semitik atau Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm) lebih spesifik sebagai Tuhan Yang Esa, monoteisme. Kepercayaan kepada Tuhan dalam agama monoteisme berakar pada Nabi Ibrâhîm, yang mempunyai paham satu Tuhan, Tuhan yang bersifat Personal, Pencipta langit dan bumi.[132]
Bentuk agama yang ada pada agama-agama adalah bagian yang tidak dapat dari dan merupakan bagian dari substansi agama. Bentuk agama dalah simbol dari kehadiran agama sedangkan substansi agama adalah hakikat dari agama itu sendiri. Secara bentuk, agama-agama yang hadir adalah Yahudi, Kristen dan Islam juga kepercayaan-kepercayaan lain tetapi secara substansi agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan lain tersebut menyembah dan mengakui keberadaan Tuhan yang satu. Dalam konteks ini, memang bentuk dan substansi agama tidak dapat dipisahkan. Substansi agama adalah gambaran inti dari bentuk formal setiap agama. Substansi agama bersifat transenden sekaligus juga imanen. Ketransendenan agama adalah karena substansi agama yang sulit didefinisikan dan tak terjangkau kecuali melalui predikatnya, sedangkan imanen karena sesungguhnya hubungan antara predikat dan substansi tidak dapat dipisahkan.[133]
            Secara teologis agama, yang dilegitimasi oleh teks ketuhanan (wahyu) bersifat absolut, masuk ke ranah manusia dalam upaya untuk memberikan ketenangan psikologis secara paripurna. Artinya, kehidupan yang dijalani manusia merupakan konsekwensi logis dari keberadaannya sebagai khalîfah Allâh fî al-`ardh yang seharusnya tidak boleh melepaskan dari aspek-aspek kereligiusannya. Dalam perkembangannya, manusia beragama selalu dihadapkan pada kenyataan antara idealitas teks ketuhanan (maksud dan pesan Tuhan) dengan realitas kehidupan kemanusiaan yang bersifat majemuk dan heterogen. Dalam kondisi seperti ini, manusia beragama berusaha untuk mengkombinasikan antara semangat idealitas teks ketuhanan (wahyu) dengan realitas kemajemukan yang terhampar didepannya. Tak jarang semangat idealitas teks ketuhanan (wahyu) menjadi sesuatu yang riskan untuk diterapkan (diaplikasikan) ketika realitas kemanusian berbicara sebaliknya. Dalam kondisi seperti inilah muncul kegamangan-kegamangan manusia dalam mengkombinasikan semangat idealitas teks ketuhanan (wahyu) dengan realitas kemajemukan kehidupan manusia itu sendiri.
            Kondisi di atas akan semakin sulit diaplikasikan jika manusia beragama telah terjebak dalam perilaku-perilaku yang partikulastik dan sekularistik. Dalam kenyataan manusia modern hari ini, keterbelahan kepribadian (split personality) telah memasuki stadium akut yang membutuhkan penyelesainnya sesegera mungkin. Bila kita runut secara hierarkis tentang persoalan ini, maka dampak negatif pemikiran postmodernisme dan strukturalisme telah memberikan andil yang signifikan dalam mengubah cara pandang (world view) Tuhan, alam serta manusia itu sendiri.[134] Keterbelahan kepribadian (split personality) itu sendiri, lambat laun telah menggerus nilai-nilai kemanusiaan secara lebih sitematis. Pandangan di atas berbanding terbalik dan kontras jika kita bandingkan dengan tujuan semangat idealitas teks ketuhanan, khususnya al-Qur`ân, yang menempatkan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna.[135] Bila keadaan ini tidak segera dibenahi, maka agama akan semakin terpinggirkan dari panggung sejarah kehidupan manusia modern oleh nilai-nilai yang menawarkan kenikmatan semu dan nisbi. Berbicara tentang semangat idealitas teks ketuhanan (wahyu) yang dilegitimasi oleh klaim absolutisme vis a vis dengan realitas kemajemukan kehidupan manusia secara langsung seperti berbicara tentang kenyataan antara kebenaran teks ketuhanan (wahyu) dengan nalar dan logika manusia.
Penting pula untuk dipahami bahwa agama memiliki dua peran, yaitu peran transendental-ilahiah dan sosial-kemanusiaan. Artinya, agama tidak hanya berkutat mengurusi hubungan transenden manusia dengan penciptanya lewat perilaku ritual dan ibadah formal. Namun, agama harus membumi untuk menegakan misi kemanusiaan sebagai wadah implementasi dan moral hubungan antar manusia. Terlebih lagi, dari seluruh rangkaian ajaran al-Qur`ân, masalah kehidupan sosial kemanusiaan paling banyak mendapat porsi perhatian. Oleh karena itu, agama harus menjadi pilar penegak keadilan, hukum, pemberantasan kemaksiatan, penyokong pendidikan serta perjuangan kemanusiaan lainnya. Agama sudah semestinya tidak hanya menjadi persoalan langit yang mengurusi hal yang metafisik. Agama juga harus membumi sebagai bagian dari tugasnya untuk mengurusi persoalan kemanusiaan yang harus diperjuangkan dan ditegakkan misi universalnya.
Dalam persoalan yang begitu kompleks, yang telah menggerus semua dimensi kehidupan manusia, demikian pula halnya dengan agama, tak jarang atau seringkali umat beragama terjebak pada pengahayatan yang bersifat monoton. Akibatnya, orientasi kaeagamaan berubah menjadi sikap yang kekanak-kanakan dan tentu saja naif. Agama diperlakukan seolah-olah merupakan jalan satu-satunnya dalam rangka membereskan segenap persolan dunia ini. Pandangan seperti ini hanya akan menyeret agama jatuh ke dalam lobang romantisme. Tampak sekali bahwa romantisme historis begitu dominan dalam kehidupan beragama kita dewasa ini. Seolah-olah dunia yang sudah berubah drastis saat ini hendak dikembalikan lagi pada zaman yang sudah lewat. Akibat yang paling pasti dari cara beragama yang demikian adalah perilaku beragama yang cenderung naif karena muncul anggapan bahwa dirinya adalah satu-satunya eksistensi yang paling benar dan harus mendapatkan pembenaran dari eksistensi yang lain.[136]
Dalam kompleksitas seperti itu, kita tidak mungkin menempatkan wahyu Tuhan bahkan Tuhan sebagai puast moralitas diri kita sendiri. Apalagi, ingin menjadikan seolah-olah kebenaran Islam adalah kebenaran diri kita sendiri dan berusaha mendudukan Islam hanya sebagai identitas usaha komunitas dan masyarakat kita sendiri. Dalam kehidupan umat manusia yang rumit seperti ini, kita harus menempatkan Islam dan umat muslim bukan sebagai entitas yang bersifat eksklusif, namun lebih merupakan kenyataan objektif yang ada dalam pergulatan untuk mencapai hakikat dan harga diri kemanusiaan di mana-mana. Fragmentasi sosial yang terjadi sekarang ini sesungguhnya telah melampaui batas-batas sentimen dan identitas primordialisme. Tidak terkecuali umat Islam dan juga mereka yang menyatakan sebagai pengamat agama lain, kalau kita pilah dalam garis hegemoni dan penindasan dengan mereka yang memperjuangkan emansipasi, demokrasi dan keadilan, sebenarnya garis seperti itu menjadi samar-samar.[137] Bila kita tidak mampu mencarikan penyelesaian secara Islam bagi persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kemanusiaan, maka pilihan yang menunggu di depan kita adalah sekularisme. Ini artinya secara tidak langsung kita membenarkan pendapat sementara orang bahwa Islam telah kehilangan relevansinya dengan nuansa zaman. Ungkapan Islam yang serba kaffah yang sering kita dengar dari berbagai kalangan adalah mengandung kebenaran, tetapi masih jauh dari substansi permasalahannya. Karena itu konsep Islam yang kaffah itu harus dilihat pula dari wilayah-wilayah pinggir, yang bila perlu mau mati syahid untuk mempertahankan wilayah-wilayah marginal itu.[138]
Dengan kata yang jelas Islam tegas-tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. Perhatikan firman Allah Ta'ala di bawah ini:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا {الكهف: 29}
"Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek."
Sesuai dengan misi yang diembannya, tentulah wajar sekali jika Nabi Muhammad SAW mengharapkan agar semua orang menerima risalah yang dibawanya. Beliau ingin agar setiap orang bersedia menerima Islam sebagai anutan dan kepercayaan mereka. Maka itu Tuhan mewanti-wanti agar beliau jangan sampai memaksakan orang agar beriman kepada-Nya sebab Tuhan sendiri tidak memaksakan untuk itu, sebab kalau Ia mau tidak ada kesukaran bagi-Nya. Firman-nya:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ  {يونس: 99}
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"
Terhadap agama-agama yang ada, Islam sama sekali tidak menafikan begitu saja. Islam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Secara eksplisit Alquran menegaskan:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ {اليقرة: 62}
"Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
Sikap menghormati kepercayaan orang lain, sebagaimana yang diajarkan Alquran begitu luas, termasuk larangan mencerca berhala yang menjadi sembahan orang lain. Sermbari menentang keras segala bentuk kemusyrikan, Islam menekankan untuk tetap menjaga perasaan orang-orang Musyrik. Firman-Nya:
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَتْهُمْ ءَايَةٌ لَيُؤْمِنُنَّ بِهَا قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لَا يُؤْمِنُونَ {الأنعام: 109}
"Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mu`jizat pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah: "Sesungguhnya mu`jizat-mu`jizat itu hanya berada di sisi Allah". Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mu`jizat datang mereka tidak akan beriman."
Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain, apapun wujudnya, bukan saja penting bagi sebuah masyarakat akan tetapi bagi seorang Muslim, merupakan ajaran agama. Karena itu membela kebebasan beragama bagi siapa saja, menghormati agama dan kepercayaan orang lain merupakan bagian dari kemusliman. Keharusan untuk membela kebebasan beragama memang diisyaratkan oleh Alquran sendiri yang disimbolkan dalam sikap mempertahankan rumah-rumah peribadatan seperti biara-biara, gereja-gereja sinagog-sinagog dan mesjid-mesjid.
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ {الحج: 40}
"(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa."
Pluralitas merupakan hukum dan sunah ilhiyah yang abadi di semua bidang kehidupan, sehingga pluralitas itu sendiri telah menjadi karekteristik utama mahluk Allah. Pluralitas merupakan realitas yang mewujud dan tidak mungkin dipungkiri. Dalam konteks pluralitas agama, konsep dan pemahaman pluralitas mendapat dukungan dari Alquran. Akal dan kenyataan. Teks-teks wahyu yang dapat dijadikan basis tentang konsep pluralitas agama diantaranya adalah; QS Hud: 118-9 dan al-Maidah: 48. Dan hal ini diperkuat dengan beberapa argumentasi:
  1. QS Hud: 118-9 dan al-Maidah: 48. Kedua ayat ini menegaskan bahwa perbedaan dan keragaman bangsa-bangsa, syari’at dan falsafah hidup memang dikehendaki oleh Allah SWT. Bahkan perbedaan dan keragaman merupakan alasan penciptaan.
  2. Ayat-ayat yang mengabarkan bahwa Allah SWT telah mengutus serangkaian nabi dan rasul-Nya dalam setiap zaman, bahkan ada yang dikhususkan seperti kepada Bani Israil dengan membawa akidah yang benar dan agama ayang hanif.
  3. Ayat-ayat Alquran yang menceritakan tentang ajakan Nabi Muhammad kepada ahl al-kitab dan penyembah berhala agar masuk Islam.
  4. Ayat-ayat dalam Surat al-Kafirun yang secara tegas memerintahkan Nabi Muhammad untuk cuci tangan dari segala bentuk agama orang Kafir dan orang Musyrik.
  5. Ayat-ayat yang menceritakan tentang adanya perang klaim kebenaran (truth claim) antara agama Yahudi dan Kristen.[139]
Perhatikan ayat berikut ini:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ {الحجرات: 13}
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan eorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
            Kata insan memiliki tiga asal kata Pertama, anasa yang berarti melihat, mengetahui dan meminta izin. Makna ini menunjuk pada kemampuan manusia sebagai mahluk yang memilki nalar dan beradab. Kedua, nasiya yang berarti lupa. Makna ini menunjuk pada manusia sebagai mahluk yang memiliki kesadaran dan ketiga, al-uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Makna ini menunjuk kepada kenyataan bahwa manusia bisa diatur. Dalam Alquran, kata insan disebut sebanyak 65 kali. Dari penyebutan sebanyak itu, kata insan memiliki tiga makna. Pertama, dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah, pemukil amanah serta tanggungjawab. Kedua, dihubungkan dengan predisposisi negatif pada diri manusia seperti cenderung zalim, kafir, tergesa-gesa dan lain-lain. Ketiga, berkaitan dengan asal mula manusia dan klasifikasinya seperti diciptakan dari tanah dan terdiri dari laki-laki dan perempuan.[140]
            Kata syu’ub merupakan bentuk plural dari kata sy’aba yang berarti golongan atau cabang. Pada mulanya, kata ini digunakan untuk menyebut danau atau oase, dimana beberapa kanal bertemu dan menyalurkan air. Kemudian dipakai untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang beragam identitasnya, namun bertemu karena kemanusiannya. Sedangkan kata qabail merupakan bentuk plural dari kata qabilah yang berarti sekumpulan orang yang bertemu, yang satu sama lainnya bisa saling menerima. Derivasi dari kata ini bisa qablu, yang berarti sudah dan lawannya adalah ba’du, artinya sudah. Qablu juga bisa berarti menghadap ke depan, seperti qubul (kelamin depan), lawannya adalah dubur (belakang: saluran belakang manusia). Bisa juga qabala, yang berarti menerima, qublah, yang berarti mencium dan taqabbala, yang berarti mengahadap. Intinya adalah, kata qabail selalu menunjuk pada dua pihak atau lebih yang saling berpasang-pasangan atau berhadap-hadapan.[141]
Pandangan Islam terhadap agama lain pada dasarnya berangkat dari akidah-tauhid, yang dituangkan dalam kalimat yang amat sederhana “la illaha illallah”, yang merupakan esensi dasar agama Islam dan realitas fundamental dalam akidah Islam. Sentralitas tauhid dalam tinjauan Islam terhadap fenomena pluralitas agama, tampak secara gamblang dalam bagaimana Islam melihat hakikat Tuhan, hakikat wahyu, hakikat manusia dan hakikat masyarakat? Dari perspektif tauhidi, keempat hakikat ini, masing-masing berkaitan secara ontologis dengan hakikat agama-agama lain dan oleh karenanya akan menentukan posisi agama-agama tersebut dalam jagad Islam.[142] Secara substantif, Islam mengakui adanya titik-titik temu yang sifatnya esensial dari berbagai agama, khususnya agama-agama samawi, yakni kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai landasan untuk hidup bersama.[143] Pernyataan ini mendapatkan legitimasinya sebagaimana ditegaskan oleh Alquran:
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ {آل عمران: 64}
"Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."
            Salah satu masalah pokok yang diungkapkan dalam Alquran ialah ahl al-kitab. Secara umum, kaum Yahudi dan Nashrani adalah komunitas yang ditunjuk Alquran sebagai ahl al-kitab. Dua komunitas tersebut, secara jelas diketahui memiliki hubungan persambungan akidah dengan kaum Muslimin. Bahkan Allah sendiri menegaskan bahwa Alquran datang untuk memberikan pembenaran terhadap sebagaian ajaran Taurat dan Injil serta mengkoreksi sebagian lainnya.[144]
            Alquran juga menginformasikan bahwa Nabi Isa as, mengajak penganut agama Yahudi untuk mengikuti ajaran yang dibawanya, karena ajaran tersebut merupakan kelanjutan dari ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Musa as, sekaligus menginformasikan tentang akan datangnya Nabi Muhammad SAW sesudah beliau.[145] Dari penjelasan tersebut tampak bahwa penganut agama Yahudi dan Nashrani yang ditunjuk sebagai ahl al-kitab, mempunyai persambungan akidah dan sumber ajaran yang sama dengan Islam. Karena itu, Nabi Musa yang membawa agama Yahudi dan Nabi Isa yang membawa agama Nashrani juga diakui oleh umat Islam sebagai nabi dan rasul Allah.
            Secara sosio-historis, kontak antar umat Islam dengan dua komunitas pemeluk agama tersebut sudah terjalin sejak Nabi Muhammad Saw diutus menjadi rasul. Namun, kontak tersebut baru berjalin secara intensif, khususnya dengan dengan kaum Yahudi, setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Meskipun komunitas Yahudi dan Nashrani disepakati oleh ulama sebagai kaum ahl al-kitab, tetapi sebagian ulama memperluas cakupan maknanya. Predikat ahl al-kitab kemudian tidak hanya terbatas pada pemeluk agama Yahudi dan Nashrani, tetapi juga mencakup semua pemeluk agama yang kitab sucinya diduga keras berasal dari Allah.[146]
            Namun, menurut Arkoun, pandangan mengenai ahl al-kitab telah memunculkan polemik religius yang berkepanjangan karena ahl al-kitab biasanya dibaurkan dengan orang lain yang tersesat dan dipakai untuk menguatkan keunikan dan otentisitas wahyu yang baru. Oleh karena itu, Arkoun menawarkan konsep Masyarakat Kitab sebagai cara untuk memikir ulang tentang konsep ahl al-kitab. Ahl al-kitab, menurut Arkoun adalah orang-orang Yahudi dan Kristen yang harus dihadapi Muhammad di Mekah dan Madinah. Mereka disebut dalam Alquran sebagai pemilik wahyu yang lebih awal, orang-orang beriman yang dikasihi oleh Allah sama dengan orang-orang Muslim, yang telah menerima wahyu yang baru. Ibrahim, bukan Yahudi atau Kristen, melainkan “muslim” murni, seorang beriman yang sepenuhnya mengabdi kepada Allah. Perspektif sejarah spiritual ini, atau sejarah penyelamatan, sangat jelas dalam Alquran dan merupakan dimensi penting dalam teologi modern tentang wahyu.[147]
Gagasan paling mendasar dari al-Qur’ân, sekurang-kurangnya ditinjau dari segi sosial, adalah bahwa manusia harus melepaskan diri dari menuhankan yang selain Allâh, firman Allâh Ta’âlâ Q.S. Al-Baqarah: 163 & 165 dan Q.S. At-Taubah: 34 juga dalam Q.S. An-Nâzi’ât: 24 yang menggambarkan Fir’aun, dengan kekuasaan absolut, menganggap dirinya sebagai tuhan, Q.S. Al-Baqarah: 258, Q.S. Al-A’laq: 96, dimana dalam surat ini Allâh menggunakan kata rabb, berarti meniadakan tuhan-tuhan lain, sekaligus mendelegitimasi pernyataan Fir’aun yang pernah mengatakan di depan pemuka masyarakat, “Aku tidak tahu tuhan yang lain bagi kamu selain aku”, Q.S. Al-Qashshah: 18. Dari kasus Fir’aun dan Namrud, kita bisa tarik kesimpulan bahwa manusia bisa mengangkat diri sebagai penguasa, yang kekuasaannya menyerupai kekuasaan Tuhan, karena merasa dirinya sebagai rab al-balad (penguasa negeri). Demikian para pemimpin rohani yang bernama pendeta, rahib atau ulama. Di sini, pengakuan bahwa hanya Allâh yang menjadi Rabb, merupakan pembebasan dari segala sistem thaghut, dalam bentuk apa saja, yang bisa dipuja dan ditaati, sebagaimana Allâh ditaati manusia.[148]
Doktrin pembebasan itu berlaku secara konsisten dalam semua kekuasaan. Q.S. An-Nâs: 1-3 dan Q.S. Al-Hadîd: 2, adalah doktrin yang menegasikan kekuasaan tiran dan raja yang kerap kali menganggap bahwa tanah, umpamanya adalah milik raja. Doktrin ini juga menegasikan konsep plutoktasi yang menjadikan kekayaan seserang sebagai dasar kekuasaan. Konsep kekuasaan ini merembet pada doktrin-doktrin ekonomi. Karena segala sesuatu milik Allâh, maka Allâh adalah sumber rezki bagi setiap manusia yang bisa memperoleh secara langsung dengan bekerja atau berusaha, lihat Q.S. Al-Baqarah: 21-22 &212, Q.S. Al-‘Ankabût; 62 dan Q.S. An-Nisâ`: 29, 32. Dalam ayat-ayat tersebut al-Qur’ân memperkenalkan asas kebebasan berusaha berdasarkan aturan-aturan yang baik, sehingga setiap orang dapatmemperoleh rezeki berdasarkan sumbangannya dalam pekerjaan. Namun, jika terdapat surplus, baik berupa kekayaan perseorangan maupun kolektif, maka didalamnya terdapat hak bagi yang membutuhkan dan yang berpendapatan rendah, lihat Q.S. Al-Dzariyat: 19. Asas kebebasan berusaha dan pemerataan surplus ekonomi itu hanyalah merupakan konsekuensi belaka dari asas persamaan manusia di hadapan Tuhan.[149] Naif dan picik jika kita kita beranggapan bahwa pluralitas yang diciptakan Tuhan sebagai rahmat dan sunatullah-Nya, kita imbangi dengan pernyataan kebenaran adalah milik kita dan untuk kita. Karena, meminjam istilah Nurcholish Madjid, yang benar adalah menerapkan sikap ‘ragu yang sehat’ (healty scepticism), atau memberi orang apa yang disebut ‘hikmat keraguan’ (benefit of doubt) dalam pergaulan sesama manusia.[150]
Kekerasan ada dalam setiap masyarakat. Kekerasan bisa berbentuk fisik, bisa juga berbentuk simbolis. Ia bisa diterima atau diderita. Kekerasan muncul dalam rekonstruksi, reproduksi atau pun transformasi hubungan sosial. sejak negara muncul, negara membangun dirinya di atas kekerasan. Dan Max Weber menyatakan bahwa tindakan kekerasan yang absah merupalan salah satu karekteristik negara. Pertentangan antara yang baik dan yang jahat merupakan sumber lain dari kekerasan yang terkait erat dengan agama. Identifikasi dengan baik menjustifikasi banyak kekerasan dalam sejarah semua agama, dari perang sampai penjajahan, melalui penindasan intern terhadap pelaku bid'ah dan penyiksaan. Akhirnya, penyebaran agama juga berhubungan dengan penggunaan kekerasan.
Jika kita menelaah agama-agama besar secara rinci, kita akan menemukan jejak yang sama. Teks-teks dasar mencerminkan kekerasan upacara pengorbanan, penggunaan kekerasan untuk tujuan yang lebih tinggi dan perlunya kekerasan dalam mempertahankan agama, bersamaan dengan regulasi etis akan kekerasan yang tidak legitimate, semuanya ditujukan untuk mencapai perdamaian tertinggi.
Nampaknya, ada tiga mekanisme yang berperan dalam kaitannya dengan hubungan antara agama dan kekerasan dalam fungsi masyarakat; pembacaan agama mengenai hubungan sosial yaitu ketika agama membentuk dasar masyarakat dengan menyediakan pembacaan mengenai hubungan sosial serta legitimasi, maka hal itu merupakan fungsi ideologis agama. Jadi, ini adalah wajah agama yang hadir dalam tatanan sosial. Tatanan sosial dikehendaki oleh Tuhan dan hubungan yang ada antara berbagai kelompok yang membentuk masyarakat adalah hasil dari kehendak adi-duniawi. Biasanya, ia menjadi sejenis naturalisasi tatanan sosial, alam dan hukumnya menjadi hasil ciptaan Tuhan.[151]
Agama sebagai faktor identitas. Identitas bisa didefinisikan sebagai rasa memiliki pada etnis, kelompok nasional atau sosial tertentu yang pada gilirannya memberikan stabilitas sosial, status, pandangan dunia, cara berpikir tertentu. Singkatnya, kebudayaan. Saat ini agama bisa menjadi salah satu faktor yang menentukan identitas kelompok. Identitas kelompok bisa menjadi hasil dari pemilikan etnis yang berbeda satu sama lain, persisnya karena agama yang berbeda.[152] Dan yang terakhir adalah legitimasi etis atau de-legitimasi dari hubungan sosial tertentu.
Barangkali semua sistem kepercayaan, khususnya yang didasarkan pada keyakinan keagamaan, cenderung bersifat supremasi (merasa lebih tinggi atau superior daripada yang lain): orang-orang yang beriman dipandang memiliki kebajikan tertentu yang membedakan mereka dengan penganut kepercayaan lain.[153] Misalnya saja dalam Islam, akar-akar kekerasan yang ditimbulkan memang bisa bersumber dari persektif manusia Muslim ketika berinteraksi dan memahami teks-teks keagamaan, bahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Ekstremisme Islam memang memiliki historitas tersendiri dalam lintasan sejarah.
Para ilmuwan-ilmuwan memang memiliki perbedaan pendapat tentang sumber-sumber kekerasan. Aliran psikoanalisis berpendapat bahwa sumber kekerasaan berasal dari sebab-sebab kejiwaan yang seringkali tersembunyi dalam batin manusia atau di bawah sadarnya. Ilmuwan sosial menyatakan bahwa sumber kekerasan berasal dari pengaruh keadaan masyarakat, kondisi-kondisi dan tradisi-tradisi yang melingkupi masyarakat tersebut. Durkheim menyatakan bahwa manusia tak lebih dari sekedar boneka yang keseluruhan aktivitasnya digerakan oleh masyarakat. Sedangkan pendukung materialisme historis menyatakan bahwa materi dan ekonomi-lah yang menjadi suber utama kekerasan. Mereka beralasan bahwa materi dan ekonomi-lah yang dapat menciptakan peristiwa-peristiwa dan mengubah sejarah. Namun secara umum, para ilmuwan-ilmuwan tersebut sepakat bahwa sumber-sumber kekerasan tidaklah disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan oleh bermacam-macam sebab yang saling bertautan dan saling menunjang satu sama lainnya. Di antara sebab-sebab itu ada yang bersifat keagamaan, politis, ekonomis, sosial, psikologis, rasional dan ada yang merupakan gabungan dari semuanya atau sebagiannya.
Dalam konteks keagamaan, sumber-sumber kekerasan bisa berasal, kata Yusuf Qardhawi, dari beberapa hal, yaitu lemah dalam memandang hakikat agama yang meliputi; kecenderungan memahami nas secara harfiah (tekstualis), sibuk mempertentangkan dan memperdebatkan hal-hal yang bersifat sekunder dan atau melupakan hal-hal primer, bersikap berlebihan dalam mengharamkan sesuatu, pemahaman keliru tentang beberapa pengertian, mengambil perkara-perkara yang samar dan meninggalkan yang jelas, lemah dalam memahami sejarah dan hukum-hukum alam dan kehidupan.[154]
Kembali kepada persoalan ekstremisme, dalam Islam konteks ekstremisme memang memiliki akar-akar yang kuat dalam historisnya. Misalnya saja, kata Khaled Abou El Fadl, doktrin supremasi puritanisme dan fundamentalisme Islam. Pemikiran supremasi Kaum Islam puritan memiliki komponen nasionalis yang sangat kuat, yang sangat berorientasi pada dominasi kultural dan politik. Kelompok-kelompok ini tidak puas hanya dengan menjalani kehidupan berdasarkan doktrin mereka, tetapi secara aktif juga tidak puas dengan semua alternatif jalan hidup yang lain. Mereka tidak sekedar berupaya memberdayakan diri, tetapi juga secara agresif berusaha melemahkan, mendominasi atau menghancurkan orang lain. Intinya adalah segala macam kehidupan yang berada di luar hukum agama dianggap kejahatan terhadap Tuhan sehingga harus ditentang.[155]
Fundamentalisme dewasa ini, di mana pun dia berada, baik dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam, merupakan ancaman besar bagi masa depan. Definisi fundamentalisme, menurut Roger Garaudy, adalah suatu pandangan yang ditegakan atas keyakinan, baik yang bersifat agama, politik maupun budaya, yang dianut oleh pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya di masa lalu dalam sejarah.[156] Sedangkan unsur-unsur yang terdapat dalam fundamentalisme adalah sebagai berikut. Pertama, adalah kestatisan dan kerigidan yang menentang penyesuaian dan kejumud-taklidan yang menentang setiap perubahan atau perubahan. Kedua, adalah konsep-konsep ke masa lalu, keterikatan pada warisan dan tradisi. Ketiga, adalah sifat tidak memiliki toleransi, tertutup, menganut kekerasan dalam bermazhab, beku, penentangan dan perlawanan.[157] Dalam Islam, fundamentalisme lahir karena disebabkan beberapa faktor. Pertama, kolonialisme Barat, kedua, dekadensi Barat, ketiga, fundamentalisme Zionisme Israel dan keempat, bersifat internal, adalah fundamentalisme Arab Saudi.
Islam puritan, baik Wahabi maupun kelompok yang lain yang lebih militan mengajukan seperangkat referensi tekstual untuk mendukung orentasi teologi intoleransi dan sifat eksklusif mereka.[158] Misalnya, mereka kerap mengutip ayat Alquran yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ {المائدة: 51}
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." 


OUTLINE

PELACAKAN ASAL-USUL (GENEALOGI) KEYAKINAN PRIMITIF: Sebuah Kajian Memahami Tuhan dalam Sejarah Manusia
A. Prawacana: Alam dan Ambiguitas Karakteristik Manusia
B. Genealogi Keyakinan: Yang Kudus (The Sacred) dalam Perspektif Manusia Primitif

BAB II
PELACAKAN ASAL-USUL (GENEALOGI) AGAMA: Kajian tentang Eksistensi dan Problematika Teks Kebenaran (Wahyu) dalam Sejarah Kemanusiaan
A. Prawacana: Agama dan Kaum Beriman
B. Telaah Agama: Unsur-unsur Pembentuknya dan Pengelompokkam Agama
C. Sejarah Kelahiran Agama: Asal-Usul (Genealogi) Agama dan Titik Temu Abrahamic Religion (agama-agama Ibrâhîm)

DAFTAR PUSTAKA

AAD, Mochammad Faizal, Proses Penciptaan Manusia & Karekteristiknya, Makalah pada IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, 2003.
‘Abd al-Bâqî, Muhammad Fua`d, al-Mu’jam al-Mufahras li`alfâzh al-Qur`ân, Beirut: Mu`assasah al-`A’lamî al-Mathbû’ât, cet. I, 1999.
Abdurrahman, Moeslim, Islam yang Memihak, Yogyakarta: LKiS, cet. I, 2005.
Abdul Ghafur, Waryono, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks, Yogyakarta: eLSAQ, cet. I, 2005.
Aslan, Adnan, Menyingkap Kebenaran: Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, terj. Munir, Bandung: Alifya, cet. I, 2004.
Armas, Adnin, “Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama”, dalam Jurnal Islamia, Di Balik Paham Pluralisme Agama, Jakarta: Khairul Bayan & INSIST, Thn. I, No. 3, September – November 2004.
Ayoub, M. Mahmoud, Islam antara Keyakinan dan Praktik Ritual: Refleksi Cendekiawan Muslim untuk Kesadaran dan Kesatuan Umat, terj. Nur Hidayat, Yogyakarta: AK Group, cet. I, 2004.
Bint asy-Syâthî`, Â’isyah ‘Abd ar-Rahmân, Manusia dalam Perspektif al-Qur`ân, terj. Ali Zawawi, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. I, 1999.
Departemen Agama RI, al-Qur`ân dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Putra Toha, 1990.
Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Terj. Kelompok Studi Agama Driyakara, Yogyakarta: Kanisius, cet. I, 1995.
Heriyanto, Husein, Paradigma Holistik: Dialog Filsfat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta: Teraju, cet. I, 2003.
Hidayat Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, Jakarta: Paramadina, cet. I, 1995.
Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung: Mizan, cet. I, 2005.
Lonsdale & Ragg, Laura. The Gospel of Barnabas: Terjemah Injil Barnabas dengan Diberi Notasi Ayat-Ayat Qur`ân, terj. Rahnip M, BA, Surabaya: Bina Ilmu, t.t.
Maarif, A. Syafi’i, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 1997.
Muhammad, Hasyim, Kristologi Qur`âni: Telaah kontekstual Doktrin Kekristenan dalam al-Qu`ân, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2005.
Nasr, Seyyed Hossein, Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spritual antara Tuhan, Manusia dan Alam, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: IRCiSod, cet. I, 2003.
Rahardjo, Dawam, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, Jakarta:  PSAP, cet. I, 2005.
                             , Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, cet. II, 2002.
Ridwan, Nur Khalik, Detik-Detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Book Gallery, cet. I, 2003.
Sihab, Husein, Kesadaran Eksistensi Manusia, kata pengantar dalam Jurnal al-Huda, Jakarta: Islamic Center Jakarta al-Huda, Vol. II, No. 4, 2001.

Shihab, Quraish, dkk, (Ed.), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. III, 1994, Jilid I; ABA-FAR.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet. XXIII, 2002.
Sudrajat, Ajat, Tafsir Inklusif Makna Islam: Analisis Linguistik-Historis Pemaknaan Islam dalam al-Qur`ân Menuju Titik Temu Agama-Agama Semitik, Yogyakarta: AK Group, cet. I, 2004.
Susetyo, Benny, ‘Menyegarkan Kembali Pemahaman Agama’, dalam buku Dzulmanni (Ed.), Islam Liberral & Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta: eLSAQ Press, cet. V, 2005.
Syahrûr, Muhammad, Tirani Islam: Genelogi Masyarakat dan Negara, terj. Saifuddin Zuhri Qudsy & Badrus Syamsul Fata, Yogyakarta: LKiS, cet. I, 2003.
Syari'ati, Ali, Agama versus Agama, Terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur, Jakarta: Pustaka Hidayah, cet. VII, 2000.
Tim Penyusun Bahasa Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. II, cet. I, 1991.


[1] Menurut penelitian Â’isyah ‘Abd ar-Rahmân Bint asy-Syâthî` manusia dengan sebutan basyar secara umum menunjuk kepada anak turun (keturunan) Adâm, mahluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Penyebutan manusia dengan basyar ini terdapat dalam 35 tempat. 25 tempat di antaranya menyangkut sisi kemanusiaan para rasul dan nabi dengan dilengkapi teks yang menunjukkan kata perumpamaan “seperti”, misalnya Q.S. Al-`Anbiyâ`: 2-8. Selain itu, terdapat pula beberapa ayat yang menyangkut sisi kemanusiaan para rasul dan nabi tanpa diikuti dengan perumpamaan “seperti” yang menunjukkan adanya sisi kesamaan antara rasul dengan manusia pada umumnya meskipun perumpamaan tersebut tidak disebut secara tegas, misalnya Q.S. Al-Isrâ`: 90-93. Lihat, Bint asy-Syâthî`, Â’isyah ‘Abd ar-Rahmân, Manusia dalam Perspektif al-Qur`ân, terj. Ali Zawawi, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. I, 1999, h. 1-4. 
[2] Adapun kata insân/al-ins, al-ins menunjuk kepada sesuatu yang tidak liar atau tidak biadab yang merupakan kebalikan dari jin yang bersifat metafisik dimana metafisik identik dengan liar dan biadab karena tidak mengenal ruang dan waktu. Sedangkan kata insân menunjuk kepada pemahaman tingginya derajat manusia sehingga membuatnya layak untuk menjadi khalifah di bumi dan mampu untuk memikul akibat-akibat taklîf (pembebanan) serta memikul amanat. Dalam al-Qur`ân kata insân terulang dalam 65 tempat. Lihat, Ibid. h. 5-8.
[3] Q.S. Al-Kahfi: 110.
[4] Q.S. Ar-Rûm: 20.
[5] Q.S. Âli ‘Imrân: 47.
[6] Q.S. Al-Baqarah: 187.
[7] Q.S. Al-Hijr: 28 dan Q.S. Al-Baqarah: 30.
[8] ‘Abd al-Bâqî, Muhammad Fua`d, al-Mu’jam al-Mufahras li`alfâzh al-Qur`ân, Beirut: Mu`assasah al-`A’lamî al-Mathbû’ât, cet. I, 1999, h. 132, dalam entri bâ-Syâ-râ – bâ-shâ-râ.
[9] Q.S. Âli ‘Imrân: 47, Q.S. Al-Kahfi: 110, Q.S. Al-Fushillat: 6, Q.S. Al-Furqân: 7 dan Q.S. Yûsuf: 31.
[10] Q.S. Âli ‘Imrân: 47.
[11] Q.S. Al-Kahfi: 110 dan Q.S. Al-Fushillat: 6.
[12] Q.S. Al-Ahzâb: 33. Pernyataan ini dipertegas dalam Q.S. Al-Furqân: 7 dan 20.
[13] Q.S. Yûsuf: 31.
[14] Abdul Ghafur, Waryono, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks, Yogyakarta: eLSAQ, cet. I, 2005, h. 11.
[15] ‘Abd al-Bâqî, Muhammad Fua`d. op. cit. h. 105- 106, dalam entri alif-nûn-sâ – alif-hâ-lâ.
[16] Q.S. Al-‘Alaq, 96: 4-5.
[17] Q.S. An-Nâzi’ât, 79: 35.
[18] Q.S. ‘Abasa, 20:24-36.
[19] Q.S. Al-Fushillat: 53.
[20] Q.S. Al-`Ahzâb: 72.
[21] Q.S. Al-Qiyamah: 3 & 36, dan Q.S. Qâf: 16.
[22] Q.S. Al-‘Ankabût: 8.
[23] Q.S. An-Najm: 39.
[24] Q.S. Al-Isrâ`: 53.
[25] Q.S. Yûnus: 12.
[26] Q.S. Ibrâhîm: 34.
[27] Q.S. Al-Isrâ`: 67.
[28] Q.S. Al-Isrâ`:100.
[29] Q.S. Al-`Ahzâh: 72.
[30] Q.S. Al-Kahfi: 54.
[31] Q.S. Al-Mâ’arij: 19.
[32] Q.S. Al-Insyiqâq: 6.
[33] Q.S. Al-‘Âdiyât: 6.
[34] Q.S. Al-‘Alaq, 96: 6.
[35] Q.S. Maryam: 66.
[36] Q.S. Al-Hijr: 26, Q.S. Ar-Rahmân: 14, Q.S. Al-Mu`minûn: 12 dan Q.S. As-Sajdah: 7.
[37] Q.S. Al-Hijr, 15: 28, Q.S. Shâd: 71, dan Q.S. Ar-Rûm: 20.
[38] Q.S. Al-Furqân,: 54.
[39] ‘Abd al-Bâqî, Muhammad Fua`d. op. cit. h. 731-734, dalam entri nûn-wâ-râ – nûn-wâ-sâ dan nûn-wâ-sâ – nûn-wâ-qâf.
[40] Q.S. Al-Baqarah: 8.
[41] Q.S. Al-Baqarah: 165.
[42] Q.S. Al-Baqarah: 200.
[43] Q.S. Al-Baqarah: 204.
[44] Q.S. Al-Hajj: 3 & 8, Q.S. Luqmân: 10.
[45] Q.S. Al-Hajj: 11, Q.S. Al-‘Ankabût: 10.
[46] Q.S. Luqmân: 6.
[47] Q.S. Al-‘Arâf: 187, Q.S. Yûsuf: 21, dan Q.S. Al-Qashash: 68.
[48] Q.S. Al-Mu`minûn: 61.
[49] Q.S. Hûd: 17.
[50] Q.S. Al-Mâ`idah: 49.
[51] Q.S. Yûnus: 92.
[52] Q.S. Al-Isrâ`: 89.
[53] Q.S. Al-Hajj: 18.
[54] Q.S. An-Nisâ`: 66.
[55] Q.S. Al-Kahfi: 22.
[56] Q.S. Sabâ`: 13.
[57] Q.S. Hûd: 116.
[58] Q.S. An-Nisâ`: 83.
[59] Q.S. Al-Hadîd: 25
[60] Q.S. Al-Tîn: 4.
[61] Konteks tentang keambiguitasan manusia beserta konsep manusia (basyar, insân dan al-nâs) disarikan dari tulisan penulis dalam “Proses Penciptaan Manusia & Karekteristiknya”, Makalah pada IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, 2003, h. 1-7.
[62] Tim Penyusun Bahasa Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. II, cet. I, 1991, h. 309, lihat dalam entri huruf G.
[63] Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung: Mizan, cet. I, 2005, h. 7-8.
[64] Hidayat Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial, Jakarta: Paramadina, cet. I, 1995, h. 36.
[65] Q.S. Al-Baqarah: 213.
[66] Syahrûr, Muhammad, Tirani Islam: Genelogi Masyarakat dan Negara, terj. Saifuddin Zuhri Qudsy & Badrus Syamsul Fata, Yogyakarta: LKiS, cet. I, 2003, h. 23-4.
[67] Loc.cit.
[68] Ibid. h. 37.
[69] Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Terj. Kelompok Studi Agama Driyakara, Yogyakarta: Kanisius, cet. I, 1995, h. 88-9.
[70] Ibid.
[71] Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis. op. cit. h. 38.
[72] Dhavamony, Mariasusai. op. cit. h 129-131.
[73] Syahrûr, Muhammad. loc.cit.
[74] Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, cet. II, 2002, h. 80.
[75] Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis. op. cit. h. 24-25 dan seterusnya.
[76] Syahrûr, menyatakan bahwa pada masa primitif stratifikasi masyarakat telah terbagai kepada tiga golongan. Pertama, kekuasaan politik yang dipegang oleh orang-orang yang mempunyai kekuasaan fisik (otot). Kedua, mistikus (rijâl ad-dîn), seperti dukun, peramal dan penyihir yang dipegang oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan (ma’ârif) dan mereka ini bertindak sebagai Dewan Penasehat Agung bagi pemegang kendali kekuasaan dalam hal perang, pengobatan dam ramalan. Ketiga, masyarakat awam pada umumnya. Syahrûr, Muhammad. op. cit. h. 28.
[77] Misalnya saja, kasus di India yang sampai sampai sekarang masih tetap mempertahankan pembagian stratifikasi masyarakatnya dalam 5 kasta. Dimana kasta pertama diduduki oleh golongan brahmana (kaum pendeta) dan kasta terakhir, yang disamakan dengan budak, adalah paria.
[78] Ridwan, Nur Khalik, Detik-Detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggegas Pluralisme-Pembebasan, Yogyakarta, Ar-Ruzz Book Gallery, Cet. I, 2003, h. 47-9.
[79] Shihab, Quraish, dkk, (Ed.), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. III, 1994, Jilid I; ABA-FAR, h. 63, lihat dalam entri agama.
[80] Aslan, Adnan, Menyingkap Kebenaran: Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, terj. Munir, Bandung: Alifya, cet. I, 2004, h. 42-3.
[81] Ibid. h. 63-64.
[82] Dhavamony, Mariasusai. op. cit. h. 90.
[83] Shihab, Quraish, dkk, (Ed.). loc.cit.
[84] Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet. XXIII, 2002, h. 211.
[85] Paradigma Cartesian-Newtonian atau paradigma matrealisme mekanistik adalah model berpikir yang berbasiskan ontologi yang atomistik dan mekanistik. Paradigma ini menjadi dominan setelah paradigma teologis-organismik Aristotelean yang dominan di Abad Pertengahan runtuh dengan terjadinya revolusi Copernicus yang mendobrak kosmologi heliosentris da menggantikannya dengan pandangan kosmologis yang geosentris. Paradigma Cartesian-Newtonian memperlakukan manusia dan sistem sosial seperti mesin besar yang diatur hukum-hukum objektif, mekanis, determenistik, linier dan matrealistik. Cara pandang ini menempatkan materi sebagai dasar dari semua bentuk eksistensi dan menganggap alam kosmos sebagai suatu kumpulan objek-objek yang terpisah yang dirakit menjadi mesin raksasa/reduksionisme. Lihat, Heriyanto, Husein, Paradigma Holistik: Dialog Filsfat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta: Teraju, cet. I, 2003, h. xiii-xv, 2-3, dan 28-31.
[86] Nasr, Seyyed Hossein, Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spritual antara Tuhan, Manusia dan Alam, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: IRCiSod, cet. I, 2003, h. 28.
[87] Ibid.  h. 28 & 30.
[88] Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis. op. cit. h. 25.
[89] Ibid. h. 26.
[90] Dhavamony, Mariasusai. op. cit. h. 121.
[91] Shihab, M. Quraish. op. cit. h. 210.
[92] Agama dalam konsep ini diyakini sebagai agama yang memiliki makna revolusioner dan agama revolusioner ini hanya terdapat dalam agama yang bercorak monoteisme. Keistimewaan agama monoteisme ini adalah, pada tahap awal manifestasinya, merupakan suatu gerakan melawan status quo, pemberontakan melawan pemerasan dan penindasan; suatu revolusi yang menyeru penghambaan kepada Sang Pencipta, yaitu yang menyebabkan penciptaan serta ketundukan pada Hukum Eksistensi, yang merupakan manifestasi Undang-undang Tuhan. Lihat, Syari'ati, Ali, Agama versus Agama, Terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur, Jakarta: Pustaka Hidayah, cet. VII, 2000, h.36.
[93] Q.S. Âli ‘Imrân: 95.
[94] Dalam terjemahan al-Qur`ân yang ditashîh oleh Departemen Agama semua kata millah, baik yang berdiri sendiri atau bersambung dengan kata lain, diartikan secara sinonim dengan dîn/agama. Lihat, Departemen Agama RI, al-Qur`ân dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Putra Toha, 1990.
[95] Millah, memiliki makna dasar kecenderungan dalam konteks kepercayan. Dalam pengertian untuk konteks agama, dapat diterjemahkan sebagai keyakinan terdalam dan keteguhan dalam diri untuk meyakini sesuatu. Sebagai keyakinan dan keteguhan diri, millah, bisa memiliki dua hal: millah yang meneguhkan kebajikan dan millah yang sebaliknya.
[96] Kata millah, tanpa atribut, terdapat dalam 8 surat, yaitu Q.S. Al-Baqarah: 130 & 135, Q.S. Âli ‘Imrân: 95, Q.S. An-Nisâ`: 125, Q.S. Al-An’âm: 161, Q.S. Yusûf: 37 & 38, Q.S. An-Nahl: 123, Q.S. Al-Hajj: 78 dan Q.S. Shad: 7. Sedangkan Kata millah, dengan atribut, terdapat dalam 4 surat, yaitu Q.S. Al-Baqarah: 120, Q.S. Al-A’râf: 88 & 89 (dalam ayat 89, penyebutan kata millah dinyatakan 2 kali dengan ungkapan millatukum dan millatinâ), Q.S. Ibrâhîm: 13, dan Q.S. Al-Kahfi: 20. Lihat, ‘Abd al-Bâqî, Muhammad Fua`d. op. cit. h. 681, dalam entri mîm-lâm-kâf – mîm-lâm-yâ.
[97] Ridwan, Nur Khalik, Detik-Detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Book Gallery, cet. I, 2003, h. 86-88.
[98] Ibid. h. 88-89.
[99] Ibid. h. 90.
[100] Ibid. h. 90-91.
[101] Rahardjo, Dawam. op. cit. h. 62-3.
[102] Ibid. h. 64.
[103] Loc.cit.
[104] Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis. loc. cit.
[105] Ibid. h. 42.
[108] Sou'yb, Joesoep, Agama-Agama Besar di Dunia, Jakarta, Al Husna Zikra, Cet. III, 1996, h. 268.
[109] Salibi, Kamal, Mencari Asal-Usul Kitab Suci, Terj. Dono Indarto, Jakarta, Pustaka Litera AntarNusa, Cet. II, 1994, h. 8..
[110] Menurut keterangan lain, bahasa Ibrani maupun Aramaik yang dipergunakan Bani Israil, termasuk rumpun semitik seperti juga halnya bahasa Arab. Ciri khusus dari bahasa-bahasa yang termasuk rumpun Semitik adalah bahwa setiap akar kata terdiri atas tiga huruf mati, setiap kalimat terdiri dari huruf mati dan cara menuliskannya dari kanan ke kiri. Lihat, Sou'yb, Joesoep. op. cit. h. 275.
[111] Salibi, Kamal. op. cit. h. 9. Kamal Salibi, memberikan bukti dengan menyatakan hahwa dalam Kitab Kejadian 31; 47-9, terdapat keterangan yang menyebutkan sebuah timbunan tanah yang disebut 'timbunan batu', didirikan untuk menjadi saksi antara Yakub, seorang Yahudi, dengan seorang paman dari pihak ibunya, seorang bangsa Aram dan ayah mertuanya, yaitu Laban. Laban menyebutnya 'Yegar-sahadutha (dalam bahasa Aram adalah ygr shdwt), tetapi Yakub menyebutnya 'Galed' (dalam bahasa Ibraninya gl'd) dan 'Mizpah' (Ibraninya hmsph) yang berarti menara penjagaan. Ketiga nama ini kini masih dipakai oleh tiga buah desa yang tidak begitu terkenal, yang letaknya berdekatan, di daerah maritim Asir, di kawasan Rijal Alna' (Rigal Alma'), di sebelah barat Abha (Abha). Nama-namanya adalah: Far'ar al-Shahda ('I Shd), yang berarti Tuhan adalah saksi atau Tuhan dari saksi, dalam bahasa Arabnya prt atau prh, yang berarti bukit atau timbunan, sama artinya dengan kata Aram ygr, al-Ja'd ('I-g'd), yang merupakan sebuah metatesis yang telah diakrabkan dari kata gl'd dan al-Madhaf (mdp; bandingkan dengan msph)
[112] Ibid. h. 10.
[113] Alquran juga mengabadikan bencana yang menimpa kaum Nuh. Bahkan dalam Alquran kejadian tersebut dijelaskan secara detail. Dalam fakta historis yang direkam oleh Alquran, salah satu keturunan Nuh, Kanaan, binasa karena membangkang terhadap perintah dan ketentuan Allah.
[114] Sou'yb, Joesoep. op. cit. h .277-9.
[115] Ibid.
[116] Ibid. h. 280.
[117] Ibid. h. 280-1.
[118] Sou'yb, Joesoep. op. cit. h. 284.
[119] Ibid. h. 284-5.
                [120] Dhavamony, Mariasusai. op. cit. h. 173-4.
[121] Ibid. h. 198.
[122] Ayoub, M. Mahmoud, Islam antara Keyakinan dan Praktik Ritual: Refleksi Cendekiawan Muslim untuk Kesadaran dan Kesatuan Umat, terj. Nur Hidayat, Yogyakarta: AK Group, cet. I, 2004, h. 124.
[123] Persoalan yang layak diajukan kepermukaan adalah siapakah yang dimaksud Yûsuf? Dalam keterangan The gospel of Barnabas, dinyatakan, bahwa ketika Maryam hamil dan, Maryam, merasa khawatir kalau penduduk desa tahu kehamilannya lalu menuduhnya telah bersundal, ia memilih rekanan (suami, pen.) yang masih dari garis keturunannya, seorang pria yang hidup dengan takwa kepada Allâh, memyembah-Nya, melakukan ibadah puasa dan shalat, yang hidup dengan kecekatan tangannya, karena ia bekerja sebagai tukang kayu. Laki-laki yang dimaksud sebagai rekanan (suami, pen.) Maryam itulah yang dikenal dengan Yûsuf. Lih, Lonsdale & Ragg, Laura. The Gospel of Barnabas: Terjemah Injil Barnabas dengan Diberi Notasi Ayat-Ayat Qur`ân, terj. Rahnip M, BA, Surabaya: Bina Ilmu, t.t. h. 4-5.
[124] Muhammad, Hasyim, Kristologi Qur`âni: Telaah kontekstual Doktrin Kekristenan dalam al-Qu`ân, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2005, h. 73. Ketidakvalidan informasi dalam Injil Lukas dan Matius tentang persoalan garis keturunan ‘Isâ bin Maryam yang diklaim berasal dari Dâud patut untuk diragukan, sedangkan menurut al-Qur`ân ‘Isâ bin Maryam merupakan keturunan Ibrâhîm dari jalur Ishâq. Hal ini dinyatakan dalam Q.S. Âli ‘Imrân: 81 dan Q.S. Al-‘Ankabût: 27. Lihat, Lonsdale & Ragg, Laura. op. cit. h. 289-290 dalam catatan akhir/notasi no 21 dan 24; bandingkan dengan Departemen Agama RI, al-Qur`ân dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Putra Toha, 1990, h. 89 dan 632.
[125] Bakry, Hasbullah, Nabi’Isâ dalam al-Qur`ân dan Nabi Muhammad dalam Bibel, Jakarta: Widjaya, cet. III, 1968, h. 51-2.
[126] Ridwan, Nur Khalik. op. cit. h. 50-51.
[127] Ibid. 51-52.
[128] Ada kekeliruan yang harus diluruskan tentang pengertian jahiliyyah. Ada pendapat yang menyatakan bahwa jahiliyyah adalah masa kebodohan umat-umat zaman Muhammad yang meliputi semua aspek kehidupan. Padahal yang lebih tepat adalah kebodohan umat-umat zaman Muhammad yang hanya meliputi kehancuran ahlak/moral. Kalaulah dikatakan bahwa jahiliyyah dalam arti pertama maka, fakta-fakta umat Muhammad yang telah mencapai fashâhah al-kalâm dalam bidang sastra, adanya pengakuam Mekah sebagai jalur utama dan urat nadi ekonomi, adanya sejumlah ilmuwan dalam bidang-bidang tertentu memberikan bukti bahwa umat Muhammad pada waktu itu hanya bodoh dan keruksakan dalam soal ahlak/moral saja.
[129] Penyembahan berhala berarti membuat patung-patung atau benda-benda suci yang, menurut para pengikutnya, yaitu pengikut agama multiteisme, suci atau termasuk suci. Karena itu, patung-patung tersebut sama dengan Tuhan atau mereka percaya bahwa pada dasarnya patung itu adalah Tuhan atau perantara atau wakil-wakil Tuhan dan, bagaimanapun, mereka percaya bahwa masing-masing Tuhan ini aktif atau berpengaruh dalam salah satu bagian kehidupan dan dunia. Lihat, Syari'ati, Ali. op. cit. h. 27.
[130] Al-Qur`ân, secara pasti menggambarkan posisi kaum Musyrik-Arab tentang keyakinannya kepada Allah, meskipun dalam aplikasi keimanan, kaum Musyrik-Arab melakukan perbuatan-perbuatan yang melewati batas keimanan (musyrik/mendua) sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah.
[131] Armas, Adnin, “Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama”, dalam Jurnal Islamia, Di Balik Paham Pluralisme Agama, Jakarta: Khairul Bayan & INSIST, Thn. I, No. 3, September – November 2004, h. 14-15.
[132] Sudrajat, Ajat, Tafsir Inklusif Makna Islam: Analisis Linguistik-Historis Pemaknaan Islam dalam al-Qur`ân Menuju Titik Temu Agama-Agama Semitik, Yogyakarta: AK Group, cet. I, 2004, h. 97-98.
[133] Hidayat Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis. op. cit. h. 53.
[134] Sihab, Husein, Kesadaran Eksistensi Manusia, kata pengantar dalam Jurnal al-Huda, Jakarta: Islamic Center Jakarta al-Huda, Vol. II, No. 4, 2001, h. 5-6.
[135] Q.S. At-Tîn: 4.
[136] Susetyo, Benny, ‘Menyegarkan Kembali Pemahaman Agama’, dalam buku Dzulmanni (Ed.), Islam Liberral & Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta: eLSAQ Press, cet. V, 2005, h. 35-36.
[137] Abdurrahman, Moeslim, Islam yang Memihak, Yogyakarta: LKiS, cet. I, 2005, h.  107-108.
[138] Maarif, A. Syafi’i, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 1997, h. 6.
[139] Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta, Gema Insani Press, Cet. I, 2005, h. 206-208.
[140] Abdul Ghafur, Waryono, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks, Yogyakarta, elSAQ, Cet. I, 2005, h. 11.
[141] Abdul Ghafur, Waryono. op. cit. h. 12.
[142] Thoha, Anis Malik. op. cit. h. 184-186.
[143] Effendi, Djohan, "Kemusliman dan Kemajemukan Agama, dalam buku Elga Sarapung, Nugroho Agung, Alfred B. Jogoeno (Tim Editor), Dialog: Kritik & Identits Agama, Yogyakarta, Institut DIAN/Interfidei, Cet. III, 2004, h. 63.
[144] Lihat misalnya, QS Ali Imran: 3, QS al-Maidah: 48 dan QS al-An’am: 92.
[145] QS. Al-Shaff: 6.
[146] Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi atas Pemikiran MoHammed Arkoun, Yogyakarta, Bentang Budaya, Cet. I, 2000, h. 112-115.
[147] Ibid. h.116-117.  
[148] Rahardjo, Dawam, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir & Kritik Sosial, Jakarta:  PSAP, cet. I, 2005, h. 180-82.
[149] Ibid. h. 182-84.
[150] Madjid, Nurcholish, kata pengantar dalam buku Hidayat, Komarudin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta, Teraju, cet. I, 2003, h. xxii.
[151] Houtart, Francois, pendahuluan tentang "Kultus Kekerasan atas Nama Agama: Sebuah Panorama", dalam buku Beuken, Kuschel, Karl-Josep (et al), Agama sebagai Sumber Kekerasan, terj. Imam Baehaqie, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. I, 2003, h. xv.
[152] Ibid. h. xvii.
[153] El Fadl, Khalid Abou, Cita dan Fakta Toleransi Islam: Puritanisme versus Pluralisme, terj. Heru Prasetia, Bandung, Mizan, Cet. I, 2003, h. 21.
[154] Qardhawi, Yusuf, Membedah Islam Ekstrem, Terj. Alwi A.M, Bandung, Mizan, Cet. IX, 2001, h. 52-91.
[155] El Fadl, Khalid Abou. op. cit. h. 21-2.
[156] Garaudy, Roger, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis lainnya, terj. Afif Muhammad, Bandung, Pustaka, Ce. I, 1993, h. 1.
[157] Ibid. h. 3-4.
[158] El Fadl, Khalid Abou. op. cit. h. 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar