Senin, 13 Desember 2010

Menggagas Diskursus Kebebasan Beragama


Apa yang menyebabkan bermunculannya aliran kepercayaan yang kemudian dituduh “sesat”? Untuk menjawab pertanyaan itu, lagi-lagi kita harus membicarakan dua diskursus besar yakni agama dan negara.
Apakah negara mengatur rakyatnya harus menganut agama tertentu? Jawabannya tidak. Bahkan sebaliknya Indonesia sebagai negara hukum, melindungi hak untuk beragama bagi setiap warga negara dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing (29 ayat 2 UUD 1945).
Namun pada kenyataannya hal itu malah terbalik, beberapa jamaah Al Qiyadah Al Islamiyah yang meminta perlindungan pihak berwajib dari amukan massa malah dijadikan korban tersangka dan diinterogasi.   
Benarkah UUD 1945 pasal 29 ayat 2 itu, bahwa negara melindungi hak rakyatnya untuk beragama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing? Belajar dari kasus jamaah Al Qiyadah Al Islamiyah itu, ternyata negara—dalam hal ini pihak berwajib (kepolisian)—tidak melindungi warganya malah menolak untuk melindunginya.
Apa yang bisa diindikasikan dari beberapa peristiwa keagamaan yang terjadi beberapa pekan silam—mulai dari penangkapan jamaah Lia Aminudin, Usman Roy, perusakan rumah-rumah Jamaah Ahmadiyah, gereja sampai terakhir penangkapan al Mushadeq—seyogyanya menunjukkan bahwa kebebasan beragama yang sejatinya mendapat landasannya dari UUD 1945 (29 ayat 2) sedang mengalami krisis yang sangat memprihatinkan.
Krisis pertama dan yang paling utama terletak pada pendefinisian negara terhadap agama. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2, Indonesia hanya akan melindungi warga negaranya yang menganut “agama resmi”—dalam istilah Budhy Munawar Rachman disebut organized religion—seperti Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan pada tahun 2006 ditambah lagi dengan agama Konghucu (Confusianism).
Pasalnya, apa standarisasinya dan siapa yang menjadikan ini agama resmi dan itu tidak. Konsekuansinya adalah Departemen Agama hanya akan melayani agama-agama besar itu saja. Dengan status itu, maka upacara perkawinan menurut aliran kepercayaaan tidak bisa dipakai untuk menetapkan status perkawinan. Dengan perkataan lain, perkawinan berdasarkan aliran kepercayaan, tidak diakui. Karena itu mereka yang masih tetap mengikuti upacara perkawinan di luar agama yang dilayani atau dianggap resmi, tidak sah dan karena itu mereka dan anak-anak mereka tidak memperoleh hak-hak sipil.
Ditambah posisi Departemen Agama dewasa ini lebih merupakan suatu Departemen Agama Islam dan bukannya departemen agama-agama. Setidak-tidaknya, Departemen Agama hanya melayani kepentingan pemeluk lima agama terbesar, utamanya Islam dan tidak memberikan pelayanan terhadap kelompok-kelompok agama kecil, bahkan aliran kepercayaan yang sebenarnya termasuk kategori untuk dilindungi pun diabaikan.
Hingga sekarang kita masih mengalami tabu, seolah-olah, Menteri Agama itu harus dari kalangan Islam, dan lebih afdhol jika pandai membaca doa dalam bahasa Arab. Tabu ini telah melanggar prinsip kebebasan sipil berdasarkan Pancasila. Kita melihat tabu seolah-olah Menteri Agama itu tidak mungkin diangkat dari kalangan Kristen, Katholik, Budha, Hindu. Tabu itu perlu dibongkar segera guna menyelamatkan konstitusi negara yang menjungjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
            Krisis pendefinisian negara terhadap agama ini pula terartikulasikan pada organisasi MUI yang “rajin” memberikan fatwa-fatwa terhadap pelbagai peristiwa keagamaan, khususnya yang terkait dengan Islam. Agaknya perlu MUI menyadari atau mengakui dampak dari beberapa fatwa-fatwanya itu, banyak organisasi-organisasi Islam yang melakukan tindak kekerasan karena dipicu dan seolah mendapat legitimasi dengan fatwanya itu. 
Kendati demikian, memang mesti disadari dan dipahami oleh masyarakat luas bahwa pada mulanya fatwa MUI dibuat sebagai usaha untuk menertibkan rumah tangga umat Islam sendiri dan tidak terkait terhadap agama-agama lain. Namun kemudian dengan perkembangan itu malah mendorong beberapa kalangan cendekiawan muslim muda untuk mempertanyakan atau mempersoalkan otoritas MUI.
Pada dasarnya fatwa memang tidak akan menjadikan seseorang yang memiliki keyakinan keagamaan berbeda sampai dipenjara; sejak kapan seseorang yang memiliki pemahaman keagamaan yang berbeda, dan padahal itu sangat bersifat subjektif, menjadi aktivitas kriminal yang mesti ditindak oleh kepolisian.
Semenjak kapan pihak kepolisian melihat melihat aktivitas Al Qiyadah Al Islamiyah, Lia Aminudin, Ahmadiyah meresahkan masyarakat? Jangan-jangan semenjak MUI mengeluarkan fatwa sesat sebab institusi kepolisian tidak memiliki kompetensi dan otoritas untuk menjustifikasi pemahaman keagamaan ini sesat atau tidak.     
Walhasil, masalah kebebasan beragama dewasa ini sebenarnya sangat ditentukan oleh posisi dan sikap umat Islam sebagai kelompok mayoritas. Di satu pihak, umat Islam merasa diri mayoritas dan karena itu menuntut hak-hak istimewa. Namun di lain  pihak, umat Islam secara teknis menyadari kelemahannya, sehingga secara teknis justru merasa dirinya minoritas. Dalam persepsi seperti itu, umat Islam menganggap agama-agama lain sebagai ancaman bahkan aliran kepercayaan pun dianggap sebagai ancaman.
Wallahu ‘alam bish showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar