Minggu, 12 Desember 2010

Ketika Hermeneutika Menggantikan Tafsir Alquran


Dalam pemikiran Islam kontemporer, wacana hermeneutika sebagai solusi atas 'kebuntuan' tafsir dalam menghadapi tantangan zaman seolah menjadi sesuatu yang niscaya dan satu-satunya pilihan (the only alternative). Terma ini bahkan nyaris sudah menjadi bagian dari wacana pemikiran Islam kontemporer itu sendiri. Para pemikir Islam kontemporer seperti Arkoun, Fazlur Rahman, Nasr Abu Zayd, Hassan Hanafi, Khaled Abu Fadhl, dan Amin Abdullah serta para aktivisi Islam Liberal senantiasa menyinggung pentingnya metode ini.
Asumsi kuat dari para pendukung hermeneutika, bahwa tafsir konvensional sudah tidak relevan lagi untuk konteks sekarang, karenanya perlu diganti dengan hermeneutika. Pertanyaannya sekarang, sebagai suatu 'produk impor', mungkinkan hermeneutika dapat menggantika Alquran? Berikutnya, ketika tafsir Alquran diganti dengan hermeneutika, persoalan-persoalan apakah yang bakal terjadi? Tulisan singkat ini bermaksud mengelaborasi hal tersebut di atas, akan tetapi untuk lebih memperkaya pembahasan, akan dikenalkan terlebih dahulu sekilas tentang hermeneutika.

Selayang Hermeneutika
Secara umum, hermeneutika dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna (Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, 1980:1). Namun, ia lazim dimaknai sebagai seni menafsirkan (the art of interpretation). Konon, dalam tradisi kitab suci, kata ini sering dirujuk pada sosok Hermes, yang dianggap menjadi juru tafsir Tuhan. Sosok Hermes ini oleh Sayyed Hossen Nasr (Knowledge and Sacred, 1989: 71), kerap diasosiasikan sebagai Nabi Idris.
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memiliki aliran yang sangat beragam, yang bahkan kadang saling kontradiktif antarsesasamanya. Namun setidaknya ada dua polarisasi utama, yakni aliran objektivitas dan aliran subjektivitas. Tradisi objektivitas yang digawangi oleh Emilio Betti menekankan otonomi objek interpretasi dan mungkinnya objektivitas historis dalam membuat suatu interpretasi yang valid.
Sedangkan, tradisi subjektivitas dengan Gadamer sebagai tokohnya, lebih mengarahkan pemikirannya pada pertanyaan yang lebih filosofis tentang hakikat memahami itu sendiri. Menurutnya, berbicara tentang penafsiran objektivitas yang valid adalah sesuatu yang mustahil (Richard E Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, 1969: 45-65).
Lepas dari banyaknya varian dalam hermeneutika, ada kesamaan pola umum yang dikenal sebagai pola hubungan segitiga (triadic) antara teks, si pembuat teks dan si pembaca (penafsir teks). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami sebuah teks --baik itu teks kitab suci maupun teks umum-- dituntut untuk tidak sekadar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di balik teks.
Pemahaman umum yang dikembangkan, sebuah teks selain produk si pengarang (pembuat atau penyusun teks), juga merupakan produk budaya atau (meminjam bahasa Foucoult) episteme suatu masyarakat. Karenanya, konteks historis dari teks menjadi sesuatu yang sangat signifikan untuk dikaji.
Metode hermeneutika ini sebenarnya sesuatu yang lumrah dalam kajian-kajian seperti filsafat, sejarah, dan filologi, hanya menjadi bermasalah ketika ia dihadapkan kepada teks Alquran, bahkan dicanangkan untuk mensubstitusi tafsir. Hal ini tidak lain, karena Alquran sebagaimana jamak dipahami adalah wahyu Tuhan yang lafadz dan maknanya seluruhnya berasal dari Allah SWT. Ketika Alquran dianggap sebuah kalam ilahi, dapatkah si penafsir kemudian memasuki alam si pembuat teks (Tuhan). Menyelami maksud dan kehendak Tuhan ketika menurunkan Alquran, mungkinkah itu?

Dilema Hermeneutika
Sikap kritis yang diajarkan dalam hermeneutika terhadap semua teks jelas menjadi daya pikat sendiri bagi kalangan intelektual muda yang lagi bersemangat 'memberontak' terhadap kemapanan. Terlebih, kalangan ulama muslim sendiri cenderung kurang agresif dalam mempopulerkan kekayaan khazanah tafsir sebagai sebuah metode yang khas dalam Islam. Selama ini, bahkan yang muncul kepermukaan dan kerap diekspose oleh media massa, adalah model tafsir yang kaku (rigid) terhadap teks, yang kemudian melahirkan produk tafsir yang cenderung patriarkal dan bias gender, kurang menghargai terhadap hak-hak kemanusiaan dan tidak peka terhadap masalah-masalah sosial. Adapun tafsir-tafsir yang humanis, liberatif, transformatif dan moderat, hanya tersimpan di rak-rak, dan kurang begitu diapresiasi. Akibatnya, ketika hermeneutika ditawarkan, ia seolah menjadi oase di tengah gersangnya tafsir-tafsir yang ada, tanpa peduli bahwa ada persoalan besar ketika hermeneutika hendak diterapkan dalam Alquran.
Penulis melihat setidaknya ada tiga persoalan besar ketika hermeneutika diterapkan pada teks Alquran. Hal ini terjadi karena adanya spirit yang inheren dalam hermeneutika itu sendiri. Pertama, hermeneutika menghendaki sikap yang kritis dan bahkan cenderung curiga. Sebuah teks bagi seorang hermeneut tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari si pembuat teks maupun budaya masyarakat pada saat teks itu dilahirkan. Ungkapan klasik Nietszhe sering dijadikan pegangan, bahwa ''jangan lihat apa yang dikatakan, tetapi lihat siapa yang mengatakan dan mengapa itu dikatakan serta apa kepentingan di balik semua itu.''
Dalam konteks Alquran, upaya pengumpulan naskah-naskah Alquran pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yang dikenal dengan Mushaf Ustmani sering kemudian dicurigai sebagai upaya hegemoni budaya arab Quraisy terhadap budaya-budaya yang lain. Karenanya, semangat arabisme yang sangat kuat ini perlu diwaspadai. Yang perlu diambil dari Alquran adalah prinsip-prinsip pokok yang merupakan ajaran universal Islam, seperti nilai-nilai persaman, keadilan dan sebagainya. Adapun yang sifatnya tehnis-praksis, itu lebih merupakan upaya Nabi mengkontekskan Alquran pada masyarakat Arab abad ke-7, sesuatu yang tentunya tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang.
Kedua, hermeneutika cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya trensenden (ilahiyyah). Dalam bingkai hermeneutika, Alquran jelas tidak mungkin dipandang sebagai wahyu Tuhan lafadz dan makna sebagaimana dipahami mayoritas umat Islam, tetapi ia merupakan produk budaya atau setidaknya wahyu Tuhan yang dipengaruhi oleh budaya Arab, yakni budaya dimana wahyu diturunkan. Anggapan adanya berbagai kemukjizatan dalam bahasa Alquran kemudian menjadi sesuatu yang tereduksi dan cenderung dipandang sebelah mata.
Ketiga, aliran hermeneutika sangat plural, karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan. Secara wacana boleh jadi ia sangat bagus, tetapi kadang sangat sulit untuk diterapkan di lapangan. Padahal dalam Islam, ada semacam keharusan, bahwa sebuah wacana selain pas dengan logika penalaran (thinkable), juga harus seirama dengan logika kesejarahan (aplicable). Alquran diturunkan tidak hanya untuk diwacanakan, tetapi lebih dari itu, bagaimana agar ia bisa diterapkan.

Penutup
Semakin menguatnya arus untuk mengganti tafsir dengan hermeneutika kiranya menjadi pemikiran sendiri di kalangan penggiat tafsir, untuk tidak sekadar menyerang secara membuta terhadap hermeneutika, tanpa memberikan solusi tafsir yang dapat menjadi pemuas dahaga intelektual muda Islam. Tafsir-tafsir yang relevan dan sanggup menjawab tantangan zaman, yang menghargai terhadap hak-hak kemanusiaan, tidak bias gender dan menghargai hak-hak minoritas, kiranya harus senantiasa ditampilkan.
Para intelektual Muslim, terutama yang bergelut dalam dunia tafsir Alquran, dengan munculnya hermeneutika, kiranya harus merasa ditantang untuk melahirkan tafsir-tafsir Alquran yang dapat berbicara tentang problema umat dan sanggup menjawab beragam persoalan kemanusiaan yang dihadapi umat manusia dewasa ini, sebagaimana visi Alquran yang menjadi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil 'alamin).

1 komentar:

  1. Pada mulanya ‘hermenetika’ adalah kajian ilmiah tentang cara melihat,memahami atau menafsirkan segala suatu berdasar sudut pandang (manusia) yang melihatnya dari berbagai aspek : bahasa,sejarah,budaya dlsb. (yang berhubungan dengan ruang-waktu manusia).sepanjang gagasan demikian digunakan diluar bahasan masalah agama mungkin tidak perlu terlalu dikawatirkan,tapi bila sudah mulai ‘mengetuk pintu’ agama maka kita harus hati hati sebab kita akan mendapatkan ‘tamu’ yang kelak ternyata terbukti menimbulkan banyak masalah.dan memang ‘tamu’ yang datang ternyata berbeda beda serta menawarkan konsep yang berbeda beda.
    'Hermenetika' adalah semacam kacamata sudut pandang manusia yang biasa digunakan untuk ‘menyaring’ penafsiran manusia terhadap kitab suci agar hasilnya bersesuaian dengan kacamata sudut pandang sang penggagas,yang biasanya mengacu pada prinsip agar ‘bersesuaian dengan parameter ke kini an,misal bersesuaian dengan prinsip kacamata sudut pandang ‘modernisme’ atau yang lainnya. dengan kata lain secara halus sang penggagas sebenarnya ingin mendoktrin atau mengendalikan cara berfikir manusia agar cara pemahaman manusia terhadap agama mengikuti bingkai pemahamannya. Sang penggagas (hermenetika) juga menerapkan beragam syarat ‘ilmiah’ yang ketat sebelum orang mendefinisikan agama sebagai ‘kebenaran’ yang diyakini secara mutlak,sang penggagas (bisa saja) ingin agar manusia ‘meragukan apa yang selama ini diyakininya’ karena ‘kondisi dan keadaan dianggap sudah berbeda dengan saat kitab suci diturunkan’,maka karena itu sang penggagas menyiapkan ‘cara pemahaman baru’.
    Dengan kata lain bila kita menggunakan kacamata penggagas hermenetika dalam cara menafsirkan atau mendeskripsikan agama maka bisa jadi kita sebenarnya (sadar atau tidak ) sedang digiring (atau di doktrin ?) untuk memahami sesuatu berdasar kacamata sudut pandang penggagas,sehingga bisa jadi kita tidak lagi bebas menggunakan hati nurani dan akal fikiran kita dalam menafsirkan kebenaran agama.
    Tapi jangan lupa bahwa konsep kebenaran mutlak (yang menjadi konstruksi agama) adalah konsep kebenaran yang bersifat hakiki dan abadi tak bisa diubah oleh manusia,dan konsep demikian hanya bisa dibaca oleh orang yang memiliki hati nurani (ruhani) dan akal yang jernih-kuat dan cerdas.jadi yang tak bisa dikutak katik atau diubah penggagas hermenetika adalah essensi.
    Dan penafsiran terhadap kitab suci sebenarnya lebih bergantung pada niat hati manusia,bila niat untuk tunduk dan patuh pada Tuhan tentu,hasilnya pasti akan lain dengan bila menafsirkan kitab suci dengan tujuan hanya untuk berwacana,beropini atau berdebat semata.

    BalasHapus